Sejarah Perkembangan Demokrasi Parlementer di Indonesia (1945-1959)

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Eksperimentasi demokrasi yang menonjol sejak Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, tanggal 17 Agustus 1945, adalah sistem demokrasi liberal atau sistem demokrai parlementer. Sistem parlementer sebenarnya tidak kita temukan di UUD 195.

Dalam UUD 1945 hanya mengenal sistem presidensial. Lalu, mengapa demokrasi liberal atau sistem parlementer muncul dalam ketatanegaraan kita? Jalan bagi terbentuknya pemerintahan parlementer terbuka sejak dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X tahun 1945.

Maklumat tersebut diantaranya memuat keputusan tentang Tugas Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjadi badan legislatif yang bertugas menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara sebelum terbentuknya DPR/MPR.

Selain adanya perubahan tugas KNIP yang semual hanya sebagai pembantu presiden, juga terjadi perubahan lain yakni perubahan sistem kabinet presidensiil ke parlementer, melalui keluarnya Maklumat 14 November 1945, setelah mendengar usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia (BP-KNIP).

Dengan demikian, sistem presidensial hanya berlangsung selama tiga bulan hingga akhirya terbentuk kabnet parlementer dengan Sjahrir sebagai perdana Menteri, tanpa harus dilakukan perubahan UUD 1945.

Pengaruh terbentuknya kabinter parlementer

Jalan ke arah terbentuknya kabinet parlementer dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :

1. Ketidaksetujuan beberapa tokoh pergerakan

Ketidaksetujuan beberapa tokoh pergerakan terhadap usul perlunya membentuk partai tunggal, degan nama Partai Nasional perlunya membentuk partai tunggal, dengan nama Partai Nasonal Indonesia. Ide ini menimbulkan banyak pertentangan karena kekhawatiran timbulnya fasisme dan totalitarisme.

Sebaliknya, kehadiran partai-partai politik dipandang tepat untuk membangun bangsa Indonesia yang baru merdeka. Sebagai tidak lanjutnya, dalam bulan November 1945, dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Np.X 3 November 1945 yang membuka pintu seluas-luasnya bagi partai-partai politik.

Maklumat yang dikeluarkan setelah pertimbangan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat menetapkan tiga hal, yaitu :

  • Pembentukan partai tunggal bertentangan dengan asas demokrasi
  • Dianjurkan pembentukan partai-partai politik untuk mudah dapat mengukur kekuata perjuangan
  • Pembentukan partai dan organisasi politik memudahkan pemerintah untuk minta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpi barisan perjuangan

Inilah yang mendasari pembentukan partai-partai politik yang mewakili berbagai corak dan aliran yang hidup dalam masyarakat.

2. Perubahan sistem

Perubahan ke sistem parlementer yang liberal semula didorong oleh kelompok muda revolusioner yang merasa kurang setuju dengan kekuasaan negara di bawah pimpinan Presiden Soekarno.

3. Indonesia negara demokasi

Untuk memberi kesan kepada dunai internasional bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi, bukan negara boneka yang diberi oleh pemerintah Jepang.

Sistem parlementer yang sepintas kelihatan seperti tindakan taksis atau ad hoc ternyata berlangusng terus hingga masa pasca revolusi, lama setelah Indonesia memperoleh pengakuan internasional sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Berlangsungnya sistem demokrasi parlementer selama lebih dari satu dasawarsa tersebut juga memiliki implikasi yang sangat luas, terutama perjalanan demokrasi Indonesia berikutnya.

Sejak awal kemerdekaan, dalam sidang-sidang Panitia Persiapa Kemerdekaan Indonesia (PPKI) para tokoh kemerdekaan sudah mulai membicaraka mengenai perlunya asas perwakilan politik melalui partai-partai dan golongan-golongan politik.

Dalam sidang-sidang PPKI yang berlangsung pada tanggal 18-19 Agustus 1945 didiskusikan konsep perwakilan politik yang dapat mencerminakn “mikroskomik”, khususnya lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Gagasan perwakilan mikroskosmik ini didasarkan atas pandangan bahwa idealnya lembaga perwakila rakyat sebagai konsekuensi dari sistem kepartaian hrus memasok wakil-wakil rakyat yang mirip dan mencerminkan masyarakat pemilih sehingga dapat dipandang sebagai mikroskosmik masyarakat.

Gagasan senada juga dikemukakan oleh salah seorang anggota BPUPKI yakni Mr. Soepomo. Menurutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan dibentuk dalam alam Indonesia merdeka seharusnya, “betul-betul merupakan suaty gambar, kaca daripada rakyat”.

Jalan ke arah terbentuknya partai-partai politik ini baru dimulai saat dikeluarkan Maklumat No.X, 3 November 1945. Selama masa Republik Indonesia mencakup kurun waktu mulai 1945 dan berakhir tahun 1959, yaitu sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945.

Selama kurun waktu itu, Indonesia telah tiga kali memberlakukan tiga undang-undang dasar, yaitu :

  • Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar berdirinya Republik Indonesia
  • Konstitusi Republik Indonesia Serikat sejak 14 Desember 1949
  • Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia yang berlaku dari 15 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959.

Alasan Indonesia memberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dilatarbelakangi oleh adanya pengakuan Republik Indonesia terhadap Republik Indonesia yang akan menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia Serikat.

Pada 15 Agustus 1950 Indonesia kembali ke dalam bentuk negara kesatuan, karena adanya desakan rakyat di daerah-daerah bagian di seluruh Indonesia yang menghendaki bentuk susunan negara republik kesatuan. Untuk itu, diberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 sekaligus menetapkan berlakunya sistem parlementer.

Selain itu, kabinet parlementer berhasil diselenggarakan pemilu. Pemilu yang pertama diselenggarakan tahun 1955 (tanggal 29 September untuk DPR dan 15 Desember untuk konstituante) dalam sistem multipartai.

Sebanyak 28 partai politik dan perorangan berhasil mendapatkan kursi di parlemen yang merupakan fraksi-fraksi terbesar, empat di antaranya yaitu :

  • PNI (57 kursi)
  • Masyumi (57 kursi)
  • NU (45 kursi)
  • PKI (39 kursi)

Faktor yang mempengaruhi sistem demokrasi parlementer

Disadari bahwa upaya mewujudkan kehidupan sosial politik yang demokratis ternyata sangat berat. Selain karena adanya faktor eksternal, seperti agresi militer Belanda pertama tahun 1947 dan agresi Belanda kedua tahun 1948, tidak kalah peliknya adalah faktor internal dari bangsa Indonesia sendiri.

Beberapa faktor internal yang berpengaruh terhadap kelangsungan demokrasi liberal atau sistem demokrasi parlementer, adalah :

1. Ketidakstabilan politik

Ketidakstabilan politik yang dipacu oleh pertentangan internal partai politik. Selain karena pemlu 1955 yang tidak menghasilkan mayoritas di parlemen. Akibatnya, pemerintahan koalisi yang terbentuk tidak berjalan lancar dan mantap.

Kabinet-kabinet yang terbentuk umumnya tidak berusia lama, yakni rata-rata mencapai delapan bulan. Setidaknya terdapat delapan kali kabinet yang memerintah antara tahun 1945 dan 1959. Situasi ini kemudian menyulitkan dilaksanakannya pembangunan ekonomi, sedangkan partai oposisi tidak mampu secara konstruktif.

Perpecahan yang terjadi diantara elit-elit partai disebabkan oleh dua hal, yaitu :

  • Terakumulasinya rasa permusuhan setelah sekian lama sehingga menyebabkan memuncaknya permusuhan itu hingga berada diatas titik toleransi.
  • Merebaknya frustasi terhadap kesulitan ekonomi dan mulai mengaburnya harapan-harapan revolusi.

Pertentangan antar elit partai tersebut kemudian merebak menjadi pertentanga politik yang bersifat luas. Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan partai untuk memperluas dukungan dengan memanfaatkan kesetiaan primodial dalam masyarakat, agama, budaya.

Dan pada saat yang sama pengaruh para pemimpin daerah terhadap partai-partai membesar. Sehingga dukungan terhadap partaipun meluas pula menjadi bersifat kedaerahan dan golongan.

2. Kegiatan politik yang berjalan dengan semarak

Kegiatan partisipasi politik dimasa ini berjalan dengan semara, terutama melalui saluran partai politik yang mengakomodasi berbagai ideologi dan nilai-nilai promordialisme yang tumbuh di tengah masyarakat.

Kompetisi antar kekuatan dan kepentingan politik mengalami masa keleluasaan, yang ditandai oleh tarik-menarik antar partai di dalam lingkaran kekuasaan dengan kekuatan politik di luar lingkungan kekuasaan.

3. Distribusi kekuasaan yang khas

Dalam masa demokrasi parlementer dicirikan oleh distribusi kekuasaan yang khas. Dalam demokrasi parlementer menempatkan Presiden Soekarno da militer pada posisi yang kurang menguntungkan terhadap pembagian peran politik.

Presiden Soekarno ditempatkan sebagai pemilik kekuasan simbolik dan seremonial, sementara kekuasaan pemerintahan yang riil dimiliki oleh perdana menteri, kabinet, dan parlemen. Dalam hal ini partai politik memainkan peranan sentral dalam kehidupan politik dan proses pemerintahan.

Kondisi ini telah mendorong kekecewaan Presiden Soekarno sehingga berinisiatif untuk menghapus partai-partai politik da memperkenalkan sistem demokrasi terpimpin.

4. Belum terciptanya stabilitas dalam pemilu

Hasil pemilihan umum yang dilaksanakan tahun 1955 belum mampu menciptakan stabilitas. Ini karena masa 1945-1959 ditandai oleh tersentralisasinya kekuasaan pada tangan elit-elit partai dan masyarakat berada dalam keadaan terasingkan dari proses politik.

Hal ini kemudahan menimbulkan masalah krusial yang tidak lebih gawat, yakni terjadinya kekecewaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Kekecewaan itu kemudian melahirkan sejumlah pemberontakan seperti PRRI/Permesta pada tahun 1956 dan pemberontalam yang bersifat kedaerahan lainnya.

Kehancuran demokrasi parlementer

Demokrasi parlementer mengalami kehancuran setelah mengalami perpecahan antar elit dan antar partai politik di satu sisi, serta di ssi lain akibat adanya sikap Presiden Soekarno dan militer yang menentang model demokrasi yang dijalankan.

Perpecahan yang akut antar partai politik yang diperparah oleh konflik tersembunyi antara kekuatan partai dengan Presiden Soekarno dan militer, serta adanya ketidakmampuan setiap kabinet dalam merealisasikan programnya dan mengatasi potensi perpecahan regional, membuat periode revolusi dan demokrasi parlementer ditandai oleh krisis integritas dan stabilitas yang parah.

Dari berbagai realitas tersebut, setidaknya kegagalan demokrasi parlementer diakibatkan oleh dua hal penting, yakni menguatnya politik aliran dan sulitnya dicapai konsensus sehingga sulit dicapai sebuah kompromi politik.

Hal penting lainnya adalah masih rentannya sistem ekonomi yang pada akhirnya berdampak terhadap tatanan sistem politik yang dibangunnya. Meskipun demikian, kita tidak dapat mengabaikan langkah-langkah penting yang telah di ambil oleh para pendiri bangsa terutama dalam meletakkan landasan dan dasar-dasar bagi terbentuknya sebuah pemerintahan.

Termasuk dalam hal ini adalah keinginan kuat untuk membentuk pemerintahan yang demokratis dengan memperkenalkan sistem multipartai dan pelaksanaan pemilihan umum.

fbWhatsappTwitterLinkedIn