Malapetaka Lima Belas Januari atau yang lebih dikenal dengan Peristiwa Malari, merupakan aksi demonstrasi pelajar dan mahasiswa yang terjadi pada 15 hingga 16 Januari 1974.
Di hadapan rezim Orde Baru, mereka menyatakan penolakan terhadap masuknya investasi asing yang berpotensi membuka peluang korupsi di pemerintahan. Serta sebagai reaksi terhadap penolakan kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia.
Tercatat, sedikitnya 11 pengunjuk rasa tewas, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Selain itu, sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dibakar, 114 bangunan hancur, serta 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Menjadi salah satu catatan sejarah terkelam bangsa Indonesia, peristiwa Malari masih dianggap menyimpan banyak misteri.
Latar Belakang Peristiwa Malari
Sebagai sebuah peristiwa politik yang mengonfrontasikan negara, yakni antara rezim Orde Baru dan masyarakat, peristiwa Malari tidak bisa hanya dilihat dari satu sudut pandang. Terdapat beberapa teori dan pendapat yang bisa dijadikan dasar dalam menentukan latar belakang terjadinya kerusuhan Malari.
Pendapat pertama, seperti yang diungkapkan oleh para aktivis mahasiswa yang terlibat dalam kerusuhan tersebut.
Mereka berpendapat bahwa kekacauan ini diakibatkan oleh korupsi, ketimpangan pembangunan, kesenjangan sosio-ekonomi dan dominasi modal asing. Serta banyaknya kejanggalan lain dalam rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Pendapat kedua datang dari Mochtar Mas’oed dan Richard Robinson, yang menyatakan bahwa aksi ini merupakan reaksi ketidakpuasan masyarakat Pribumi Indonesia terhadap strategi pembangunan di masa Orde Baru. Menurut mereka, strategi Soeharto lebih banyak menguntungkan kelompok borjuis (non-pribumi) dan mereka yang memiliki modal besar.
Alasan lain datang dari Ali Moertopo yang didukung oleh buku “Fakta, Analisa Lengkap dan Latar Belakang Peristiwa 15 Januari 1974”.
Dalam buku tersebut dikatakan bahwa peristiwa Malari ditunggangi oleh berbagai oknum, seperti bekas PSI (Partai Sosialis Indonesia), PNI (Partai Nasionalis Indonesia), dan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Namun, banyak ahli yang menganggap teori ini hanyalah manuver-manuver politik ali Moertopo pasca-pemilu 1971. Menurut Heru Cahyono, Ali Moertopo ingin membangun basis kekuatan yang kuat di pemerintahan, dengan memanfaatkan kelemahan lawan-lawan politiknya.
Pendapat lain dan paling populer diantara yang lainnya adalah konflik antara Jenderal Soemitro dan Ali Moertopo dengan memanfaatkan gerakan kritisme kaum muda yang menentang penanaman modal asing di Indonesia. Kekecewaan mereka terhadap pemerintah yang terus meningkat, disebut-sebut sebagai pemicu kerusuhan Malari 1974.
Pemberantasan korupsi yang dulu diharapkan menjadi prioritas rezim Orde Baru, tidak berhasil terlaksana. Sebaliknya, korupsi menjadi hal yang terstruktur dan terlembagakan. Berelasi dengan etnis Tionghoa Indonesia untuk mengeruk keuntungan lebih bayak.
Sebab lainnya adalah banyaknya modal asing terutama Jepang yang berinvestasi di Indonesia dengan berdasar pada UU No. 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal dan instruksi presidium kabinet No: 06/EK/IN/1/1967 tentang tata cara penanaman modal di Indonesia. Sehingga arus modal akan terus masuk ke Indonesia hingga tidak bisa terbendung lagi.
Sudjono Humardani, yang dijuluki sebagai ‘Menteri Dukun’ Orde Baru, merupakan orang paling aktif meyakinkan pebisnis Jepang untuk berinvestasi di Indonesia.
Kemitraan yang sering dilakukan adalah dengan mengambil kepemilikan penuh atas investasi dan bermitra dengan etnis Tionghoa Indonesia atau perwira militer senior, bukan Pribumi Indonesia.
Di tengah pembangunan dan produksi di Indonesia akibat investasi Jepang di sektor manufaktur di masa Orde Baru, banyak perusahaan Indonesia terutama bidang tekstil gulung tikar, karena banyak pekerja yang digantikan dengan padat modal.
Kekecewaan terus meluas ke perselisihan antara panglima KOPKAMTIB, Soemitro, dengan Ali Moertopo, Asisten Pribadi Soeharto, yang menyebabkan protes pelajar dan mahasiswa serta kerusuhan muslim dan anti-Cina.
Selain itu, protes dan kritikan juga datang dari kalangan non-pribumi, seperti Soe Hok Gie, di masa awal pemerintahan Soeharto berkuasa ia banyak mengkritik kebijakan Soeharto terkait pemberantasan anggota PKI. Ia juga menyebut Soeharto sebagai hamba dari orang Barat karena terlalu mengagung-agungkan pemodal asing.
Pada 1973, Ali Moertopo berusaha menghapus rancangan UU tentang perkawinan dan perceraian dalam upayanya mendepolitisasi Islam, yang berujung pada aksi unjuk rasa dari 400 mahasiswa terhadap UU tersebut. Sementara Soemitro melakukan sebaliknya, ia mendekati tokoh-tokoh Islam, hingga akhirnya undang-undang tersebut disahkan pada Desember 1973.
Tiga bulan sebelumnya, pada Oktober 1973, sebanyak 11 mahasiswa ITB datang dan bertemu dengan Djamal Ali, Ketua Komisi XI DPR RI, dengan terang-terangan mengatakan penolakan terhadap pembentukan badan KOPKAMTIB.
Di Jogjakarta, aksi unjuk rasa terkait pembentukan KOPKAMTIB juga dilakukan oleh beberapa mahasiswa dari Universitas Gajah Mada dan kampus lain di bawah komando Anhar Gonggong dan Aini Chalid.
Di waktu yang sama, beberapa ahli ekonomi seperti Mochtar Lubis, Kuntjoro Jakti, Suhadi Mangkusuwondo, dan Maruli Panggabean melakukan diskusi terkait “Untung Rugi Modal Asing di Indonesia” guna mendukung aksi para mahasiswa di Indonesia.
Pada 18 Desember 1973, beberapa mahasiswa Universitas Indonesia membulatkan tekad untuk memperjuangkan perubahan dan keadilan bagi rakyat Indonesia ke arah lebih baik dan menyeluruh, yang ditandatangani oleh Hariman Siregar dan Judil Hery, selaku ketua dan sekretaris Dewan Mahasiswa UI.
Pada 24 Desember 1973, kurang lebih 200 mahasiswa dari 12 Dewan Mahasiswa di seluruh Indonesia berangkat dari kampus UI menuju Bina Graha dan Cendana untuk berdiskusi dengan Presiden Soeharto. Pada 7 Januari 1974, Presiden Soeharto bersedia menemui 12 orang perwakilan mahasiswa guna berdiskusi bersama.
Keberhasilan Soemitro dalam mencegah berbagai kerusuhan yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintahan Orde baru, ternyata tidak mampu membendung kemarahan para mahasiswa pada aksi demonstrasi pada 15 dan 16 Januari 1974 karena kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka.
Hingga terjadilah salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah Indonesia, demi mengubah kebijakan rezim Orde Baru yang berada di bawah kepemimpinan Soeharto.
Kronologi Peristiwa Malari
Kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, ke Indonesia pada 14 Januari 1974, disambut dengan aksi demonstrasi oleh para pelajar dan mahasiswa dari Universitas Indonesia di Jalan Salemba menuju Universitas Trisakti di bilangan Grogol.
Sesampainya di kampus Trisakti, digelar Apel Tritura 1974 yang berisi tiga tuntutan terhadap pemerintah, yakni menurunkan harga bahan pokok, membubarkan asisten presiden, dan memusnahkan para koruptor.
Selepas pembubaran apel, para pengunjuk rasa membakar patung Perdana Menteri Kakuei Tanaka sebagai bentuk penolakan terhadap modal asing. Massa kemudian bergerak menuju Istana Kepresidenan, di mana Soeharto bertemu dengan Tanaka yang sudah tiba sejak 14 Januari 1974.
Massa semakin lama semakin beringas dan tidak terkendali. Melihat hal tersebut, Bambang Sulistomo selaku koordinator demonstrasi merasa kebingungan dan tidak mampu berbuat banyak. Hal ini jauh dari apa yang ia perkirakan, di mana dalam rencana demonstrasi akan dilakukan secara damai.
Jenderal Soemitro kemudian datang untuk berdialog dan menenangkan massa. Namun aksi Soemitro mendapat respon sebaliknya, karena ia datang dengan mobil buatan Jepang, yang mana membuat massa semakin marah terhadapnya. Berbagai ancaman Soemitro terhadap para pengunjuk rasa bagaikan angin lalu.
Kerusuhan Malari pecah saat itu juga. Para demonstran yang dinilai melakukan kekerasan dan perusakan tidak lepas dari tembakan peluru aparat keamanan. Para demonstran kemudian dihadang oleh kerumunan lain yang diduga merupakan suruhan dari Ali Moertopo dan Liem Ban Kie.
Kerusuhan semakin melebar, yang ditandai dengan perusakan dan pembakaran kendaraan milik pribadi maupun kendaraan milik ABRI. Kantor Astra yang merupakan importir asal Jepang, termasuk show room ikut dirusak massa.
Pusat penjualan mobil dan motor baik baru maupun bekas seperti PT Insan Apollo dan PT Subaru tak luput dari amukan massa.
Menjelang petang, proyek Senen yang merupakan pusat pertokoan terbesar di Jakarta dirusak dan dijarah, meski telah dijaga ketat oleh aparat keamanan.
Mobil pemadam kebakaran yang datang ke kawasan tersebut tidak dapat berbuat banyak, terlebih juga ikut dirusak. Akibat insiden tersebut, aliran listrik di kawasan Senen terputus.
Mengakhiri aksi unjuk rasa hari pertama, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, Hariman Siregar menyerukan suara mereka tanda berakhirnya kerusuhan melalui media televisi TVRI dengan mengatakan “ini bukan niat kami”. Belakangan dilaporkan Hariman Siregar mengajukan pembelaan terhadap dirinya bahwa ia selama ini berada di bawah tekanan.
Aksi demonstrasi terus berlanjut hingga keesokan harinya, 16 Januari 1974. Gerakan anti-Jepang semakin meluas dan berubah menjadi gerakan anti kemewahan dan kemaksiatan. Meski telah diberlakukan larangan berkumpul lebih dari lima orang, tetap tidak berjalan secara efektif.
Kantor Pertamina dan PT Coca Cola menjadi sasaran selanjutnya bagi para demonstran, hingga hanya tersisa puing. Kerusuhan ini terus berlanjut hingga pukul 22.00 WIB, ketika pasukan KKO, RPKAD, dan Kostrad turun menembaki para demonstran.
Diketahui bahwa saat itu Perdana Menteri Tanaka sudah meninggalkan Indonesia akibat kerusuhan yang terjadi.
Dilansir dari berbagai sumber, dalam kerusuhan 15 dan 16 Januari 1974, tercatat sedikitnya 11 pengunjuk rasa tewas, 300 luka-luka, 775 orang ditahan.
Selain itu, sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dibakar, 114 bangunan hancur, serta 160 kilogram emas dari sejumlah toko perhiasan hilang akibat dijarah massa.
Dampak Peristiwa Malari
Jenderal Soemitro, Wakil Panglima ABRI, menjadi pihak paling dirugikan diantara para pemangku jabatan di pemerintahan dalam peristiwa ini. Ia dituduh menghasut para demonstran, dan dipaksa mundur dari jabatannya. Semua pihak yang disinyalir menjadi pendukungnya, disingkirkan dari posisi komando.
Langkah ini didukung oleh sebuah dokumen berjudul “Dokumen Ramadi”, yang disampaikan kepada Presiden Soeharto oleh Jenderal Ali Moertopo, yang merupakan saingan Jenderal Soemitro.
Dokumen tersebut berisi ajakan dari seorang Jenderal berinisial “S” yang mencoba melakukan kudeta terhadap pemerintah, antara bulan April hingga Juni 1974.
Selepas terjadinya peristiwa Malari, rezim Orde Baru menjadi lebih cepat dan represif dalam bertindak ketika ada warga yang menyatakan ketidaksetujuan mereka, baik dalam bentuk demonstrasi maupun media massa.
Sekitar dua belas surat kabar dan majalah dicabut izin percetakan dan penerbitannya, salah satunya surat kabar Indonesia Raya.
Mochtar Lubis, wartawan surat kabar Indonesia Raya, ditahan tanpa adanya proses peradilan. Ia dan beberapa wartawan yang dianggap menyinggung pemerintah akan masuk dalam daftar hitam, dan dapat dipastikan akan kehilangan kesempatan bekerja.
Sepekan setelah aksi demonstrasi Malari, rezim Orde Baru mengajukan beberapa aturan perundang-undangan yang dimaksudkan untuk mengutamakan kepentingan ekonomi Pribumi Indonesia.
Dalam rancangan tersebut, akan dilakukan kemitraan antara Pribumi Indonesia dan investor asing serta penggunaan Bursa Efek Indonesia.
Rancangan ini nantinya mengharuskan calon investor mengajukan rencana kepemilikan mayoritas Pribumi Indonesia. Pemerintah berharap bahwa aturan ini dapat diterima publik dengan baik, serta mampu membungkam kritik mereka terhadap rezim Soeharto. Namun pada kenyataannya, praktik tidak selalu seperti teori, karena banyak terjadi pelanggaran di dalamnya.
Dari peristiwa Malari, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Orde Baru merasakan “keterkejutan hingga ke dasar” akibat ketidakmamuannya dalam menangani kerusuhan selama kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka.
Jeffrey Winters, Ahli Ilmu Politik Amerika, mencatat bahwa ketakutan terbesar politisi Indonesia pada masa Orde Baru adalah pemberontakan dari jutaan kaum miskin, baik dari kota maupun pedesaan.