Siapa yang tidak mengenal Agus Salim? Berikut biografi singkatnya.
Kelahiran Agus Salim
Haji Agus Salim, biasa disingkat H. Agus Salim dilahirkan dengan nama asli Masyhudul Haq yang memiliki arti pembela kebenaran. Agus Salim merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang lahir di Agam, Sumatera Barat pada 8 Oktober 1884. Agus Salim adalah anak keempat dari orang tuanya yaitu pasangan Soetan Mohamad Salim dan ibunya Siti Zainab.
Pada tahun 1891, Agus Salim kecil mengenyam pendidikan dasar di sekolah khusus anak-anak Eropa bernama Europeesche Lagere School (ELS) di Riau. Meskipun bersekolah diantara anak-anak berkulit putih, hal ini tidak mengecilkan hati atau membuat Agus Salim merasa rendah diri, prestasi akademisnya ketika itu malah dapat terbilang sangat baik dan memuaskan.
Agus Salim memiliki minat yang sangat tinggi pada berbagai pelajaran. Hal ini membuat seorang gurunya yang bernama Brouwer merasa terpukau. Brouwer yang merupakan orang Eropa itu sempat meminta ijin kepada ayah Agus agar Agus dapat tinggal dengan dirinya. Namun Agus hanya diijinkan untuk ke rumah Brouwer setelah makan malam dan tetap pulang ke rumahnya untuk tidur.
Setelah Europeesche Lagere School (ELS) kemudian Agus Salim melanjutkan Pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia (Jakarta). Lulus pada tahun 1903, Agus bahkan menjadi salah satu lulusan terbaik sekolah tersebut.
Agus Salim memiliki ketertarikan yang sangat tinggi pada bahasa asing. Ketertarikan dan rasa panasaran yang tertanam pada dirinya sejak kecil memudahkan jalannya untuk menguasai bahasa asing dan menuntunnya untuk bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris di sebuah perusahaan pertambangan di Indragiri kala itu. Agus menguasai kurang lebih 9 bahasa asing yaitu bahasa Belanda, Inggris, Arab, Jerman, Perancis, Latin, China, Jepang hingga Turki.
Masa Remaja Agus Salim
Pada tahun 1906 hinggan 1911, Agus Salim mendapat kesempatan untuk pergi ke Jeddah, Arah Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda yang ada disana. Ketika inilah Agus Salim banyak belajar pada Syeh Ahmad Khatib yang masih merupakan pamannya.
Pada tahun 1912, Agus Salim menikah dengan wanita kelahiran Bukittingi bernama Zainatun Nahar. Agus Salim pun dikaruniai sepuluh orang anak, namun dua diantaranya meninggal ketika masih bayi. Kedelapan anak Agus Salim tidak dia sekolahnya di sekolah formal. Hal ini dikarenakan Agus Salim tidak ingin anaknya ditanamkan pemikiran dan pola piker penjajah. Agus merasa Pendidikan formal kala itu sangat diskriminatif, sehingga Agus dan sang istri memutuskan bahwa merekalah yang harus memberi pendidikan pada anak-anaknya. Meskipun tidak mengenyam pendidikan formal, anak-anak Agus Salim meraih kesuksesan.
Pada tahun 1915, Agus Salim mulai terjun di dunia jurnalistik. Saat pertama memulai karir di usia 30 tahunan tesebut, Agus menjabat sebagai Redaktur II di Harian Neratja, surat kabar berbahasa Melayu, baru kemudian menjadi ketua redaksi. Karir jurnalisnya terus berlangsung hingga Agus menjadi Pimpinan Harian Hindia Baroe di Jakarta dan kemudian mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Selain itu, Agus Salim juga menjadi Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta.
Karena termasuk kategori orang yang jenius, di tahun yang sama yaitu 1915, selain karirnya di bidang jurnalis, Agus Salim juga berkarir dalam dunia politik. Agus Salim menjadi pemimpin kedua di Sarekat Islam (SI) setelah H.O.S . Tjokroaminoto. SI mengalami berbagai permasalahan dan ketegangan politik termasuk masalah komunis, pemimpin bisnis dan reformasi berlandaskan pemikiran Islami. SI pun pecah pada tahun 1923, dengan Tjokroaminoto dan Agus Salim sebagai sayap kanan, dan sayap kiri di pimpin oleh Tan Malaka, Darsono dan Semaun yang kemudian membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian berubah menjadi PKI.
Agus Salim menjadi pemimpin SI sejak tahun 1934 sejak wafatnya Tjokroaminoto. Pada tahun 1927, Agus Salim pernah menjadi anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan menyuarakan tentang emansipasi wanita dimana tempat duduk pria dan wanita harusnya disatukan tidak membuat wanita duduk di belakang dan pria duduk di depan.
Setelah Indonesia merdeka, Agus Salim dipercaya dan diangkat sebagai Dewan Pertimbangan Agung, serta berkat kemahirannya dalam dunia diplomasi, Agus Salim diangkat menjadi Menteri Muda Luar Negeri pada masa Kabinet Syahrir I dan II. Pada tahun 1948 menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Berlanjut pada Kabinet Presidentil pada tahun 1950 hingga akhir hayatnya Agus Salim dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Salah satu dinas diplomatic terakhir Agus Salim yang juga mencatatkan namanya dalam sejarah ialah ketika Agus menjadi perwakilan delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan pada tahun 1949 di Den Haag.
Dalam dunia politik Agus Salim memiliki julukan The Grand Old Man. Setelah meninggalkan dinas pemerintahan, Agus Salim Kembali menulis dan menjadi jurnalis. Pada tahun 1952, Agus diangkat menjadi dewan kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Pada tahun 1953, Agus Salim dan istri pernah tinggal selama 6 bulan di Ithaca, New York dan memberikan kuliah tamu di Universitas Cornell. Ceramahnya ketika memberikan kuliah disusun dan diterbitkan sebagai Pesan-pesan Islam: Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University, Amerika Serikat.
Wafatnya Agus Salim
Pada tahun 1954, tepatnya 4 November, Agus Salim wafat di usia 70 tahun. Agus Salim wafat di Rumah Sakit Umum Jakarta dan kemudian dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Nama Agus Salim kini diabadikan sebagai nama stadion sepak bola di Padang.