Daftar isi
Bagindo Aziz Chan, merupakan salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari tanah Sumatera. Setelah era kemerdekaan, Ia dilantik menjadi Walikota Padang yang ke-2 menggantikan Mr. Abubakar Jaar.
Nama Bagindo Aziz Chan mungkin memang tidak setenar pahlawan nasional asal Minangkabau lainnya, seperti Tan Malaka atau Mohammad Hatta. Hal ini dikarenakan perjuangan Aziz Chan memang hanya meliputi wilayah padang saja. Meski demikian, sejarah mencatat perjuangan heroiknya tatkala dengan gagah berani ia memasang badan demi mempertahankan Kota Padang dari militer Belanda yang ingin kembali berkuasa.
Kelahiran Bagindo Aziz Chan
Bagindo Aziz Chan lahir pada tanggal 30 September 1910 di Kampung Alang Laweh, Kota Padang, Sumatera Barat. Ia merupakan anak keempat dari enam bersaudara hasil pernikahan pasangan Bagindo Montok dan Djamilah.
Aziz Chan lahir di tengah keluarga yang cukup berada. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah Belanda yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Stasiun Kereta Api di Padang.
Masa Remaja dan Masa Dewasa Bagindo Aziz Chan
Ketika masih berusia 4 tahun, Aziz Chan mulai mengenyam pendidikan setingkat Sekolah Dasar di HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Padang, ketika itu usianya masih 4 tahun. Sebagai anak dari keluarga ambtenaar (pegawai negeri zaman Belanda), Aziz Chan terbiasa dengan hidup berdisiplin dan bertanggung jawab. Selain itu, ia juga dikenal sebagai anak yang cerdas.
Setelah lulus dari HIS, pada tahun 1920-an, Aziz Chan yang masih sangat muda melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager OnderwijsI) di Surabaya. Setelah lulus dari MULO, ia kemudian pergi ke Batavia untuk menempuh pendidikan menengah atas AMS (Algemeene Middelbare School). Selepas dari AMS, Aziz Chan masuk ke sekolah tinggi hukum RHS (Rechtshoogeschool te Batavia). Setelah menyelesaikan pendidikan hukumnya, Aziz Chan sempat membuka praktek pengacara atau yang pada saat itu disebut dengan istilah pokrol.
Peran dan Perjuangan Bagindo Aziz Chan
Ketertarikan Aziz Chan terhadap nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan telah mulai ia rasakan ketika masih menempuh pendidikan di AMS. Kala itu, Aziz Chan telah banyak ikut dalam berbagai pertemuan dan diskusi tentang modernisasi, nasionalisme, dan juga perkembangan Islam di Indonesia. Tidak hanya menjadi pendengar, tak jarang Aziz Chan juga ditunjuk sebagai pembicara dalam berbagai forum tersebut.
Sebagai seorang perantauan, Aziz Chan memiliki koneksi atau jaringan pergaulan yang luas. Terlebih ia merupakan salah satu anggota pengurus Jong Islamieten Bond (JIB) yang digagas oleh Masyudul Haq atau lebih dikenal dengan nama Haji Agus Salim, seniornya yang sama-sama berasal dari Minangkabau. Kiprahnya dalam berbagai organisasi pergerakan semakin diakui oleh tokoh-tokoh muda tatkala bersama Agus Salim ia membentuk Barisan Penyadar Sumatra Barat dan Persatuan Pelajar Islam di bawah pimpinan Syekh Adam BB. Ia juga mendirikan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Pada tahun 1934, Aziz Chan memutuskan kembali ke kampung halamannya dengan membawa segudang pengalaman dan ilmu yang telah diperolehnya selama merantau di tanah Jawa. Di Padang, ia belum bisa melakukan aktivitas terkait politik karena adanya belenggu dari pemerintahan kolonial Belanda.
Tahun 1935, Aziz Chan mulai mengajar di Islamic College. Ia bersama teman-temannya kemudian mendirikan Lembaga Pendidikan Pergerakan Umum bagi rakyat dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi yang diberi nama Volks Universalitir.
Selain aktif mengajar, Aziz Chan juga melantik kader-kader perjuangan, melakukan ceramah-ceramah dan tabligh di berbagai tempat di Padang. Pada tahun 1940, dalam suatu tabligh agama yang disampaikannya, dia dinyatakan melanggar spreek delict yang membuatkan harus berhadapan dengan landraak (pengadilan) yang kemudian menjatuhinya hukuman 50 hari penjara.
Pada bulan November 1945, Aziz Chan ditunjuk sebagai salah seorang utusan PRI (Pemuda Republik Indonesia) untuk menghadiri Kongres Pemuda Indonesia di Yogyakarta. Sekembalinya dari kongres tersebut, dia membentuk organisasi Pemuda Muslim Indonesia di Padang.
Pada masa pendudukan Jepang, Aziz Chan mendirikan organisasi Pemuda Nippon Raya dengan tujuan untuk mencegah para pemuda agar tidak terpengaruh oleh propaganda Jepang. Mengetahui hal tersebut, pemerintah pendudukan Jepang membubarkan organisasinya dan untuk kedua kalinya ia mendapat hukuman ringan.
Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, tentara sekutu dan NICA berupaya untuk kembali menancapkan pengaruhnya di Indonesia tak terkecuali di Kota Padang. Pada tanggal 10 Oktober 1945, Aziz Chan menolah untuk tunduk terhadap kekuatan militer Belanda yang datang ke Kota Padang. Aziz Chan berusaha untuk terus melakukan perlawanan baik melalui propaganda di koran Republik Indonesia Jaya yang diterbitkannya, maupun dengan turun langsung memimpin perlawanan terhadap Belanda.
Pada tanggal 15 Agustus 1946, Aziz Chan dilantik sebagai Walikota Padang untuk menggantikan Mr. Abubakar Jaar yang dipindahtugaskan menjadi residen di Sumatra Utara. Kala itu konflik bersenjata dengan Belanda dan sekutu masih bergejolak di berbagai wilayah tanah air.
Sejak kedatangan Sekutu dan NICA yang memboncengi Belanda pada Oktober 1945, Kota Padang telah menjadi medan pertempuran. Andi Chan yang tengah menjabat sebagai walikota kemudian mencapai kesepakatan dengan sekutu terkait keamanan kota. Akan tetapi, Sekutu terutama pihak Belanda dan NICA, kerap melanggar kesepakatan tersebut.
Pada tanggal 27 hingga 28 Agustus 1946, pasukan Indonesia terlibat pertempuran sengit dengan sekutu yang berujung pada digeledah dan ditangkapinya para pemuda Kota Padang. Hal tersebut membuat Aziz Chan merasa tersinggung dan langsung mendatangi markas sekutu untuk melakukan protes. Melihat keberanian dan ketegasan Andi Chan membuat sekutu meyerah dan membebaskan semua pemuda yang telah mereka tangkap.
Wafatnya Bagindo Aziz Chan
Pihak Belanda membujuk Aziz Chan untuk mau menyerahkan Kota Padang yang dianggap strategis. Akan tetapi, Aziz Chan terang-terangan menolaknya dengan tegas. Ia bahkan menyerukan kalimat heroik ”Langkahi dulu mayatku, baru Kota Padang aku serahkan!”.
Minggu 19 Juli 1947, bertepatan dengan hari pertama bulan puasa, Kota Padang tengah dalam status gawat. Terdengar kabar bahwa Belanda telah siap melakukan agresi ke Kota Padang yang mana situasi tersebut harus segera dilaporkan ke Bukittinggi. Namun, laporan dengan telepon tentunya sangat riskan sehingga Aziz Chan memutuskan dialah yang akan menjadi kurir untuk pergi ke Bukittinggi.
Bersama keluarganya, Andi Aziz bertolak ke Bukittingi dengan menggunakan mobil. Sesampainya di daerah Ulak Karang, mobilnya dihentikan oleh tentara Belanda. Seorang komandan tentara Belanda yang bernama Letnan Kolonel Van Erp, meminta tolong kepada Aziz Chan untuk menghentikan kekacauan yang disebutnya sebagai ulah ekstrimis di daerah Lapai.
Setelah meminta istrinya, Siti Zaura Usman, dan staf walikota A. Marzuki untuk menunggunya di mobil. Aziz Chan pergi ke Lapai dengan menaiki mobil Jeep milik Belanda. Itulah saaat terakhir keluarganya melihat Aziz Chan dalam keadaan hidup.
Pukul 18.00 ketika keluarganya hendak berbuka puasa, datang seorang polisi menyampaikan kabar bahwa Bagindo Aziz Chan telah meninggal dunia karena tertembak. Setelah dikonfimasi kepada Kolonel Van Erp, Ia pun membenarkan kabar tersebut dan mengatakan bahwa Aziz Chan telah ditembak oleh ekstrimis saat memeriksa garis demarkasi.
Jenazah Aziz Chan dibawa ke Bukittinggi untuk kemudian dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Bahagia.
Untuk mengenang jasa-jasanya, melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 082/TK/2005 yang dikeluarkan pada tanggal 7 November 2005, Bagindo Aziz Chan menerima gelar tanda jasa Bintang Mahaputera Adipradana dan pada 9 November 2005, ia menerima gelar Pahlawan Nasional Indonesia.