Sejarah

Kerajaan Kota Kapur : Sejarah, Peninggalan dan Masa Kejayaannya

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Kerajaan Kota Kapur merupakan kerajaan yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke 5 sampai 6 Masehi. Kerajaan ini berada di kawasan Kota Kapur, Provinsi Bangka Belitung, Kecamatan Mendo Barat. Secara geografis, kawasan ini termasuk ke dalam daerah daratan tinggi, sedang, perbukitan, serta pesisir di mana semuanya berhadapan dengan Selat Bangka.

Penemuan kerajaan ini didukung karena adanya penemuan berupa 4 buah arca Wisnu yang memiliki gaya arsitektur hampir sama dengan pre Angkor. Adapun bukti pendukung lainnya dari kerajaan ini adalah hasil analisa dari carbon dating benteng yang menunjukkan tahun 532 Masehi.

Dengan adanya hasil analisa tersebut menunjukkan bahwa kerajaan kota kapur sudah ada sebelum adanya kerajaan Sriwijaya. Struktur tanah pada pusat kerajaan Kota Kapur termasuk bergelombang namun dalam posisi yang lemah.

Letak geografis kerajaan kota kapur

Keberadaan kota pada kerajaan kota kapur dapat dikatakan sulit karena wilayahnya yang berada di antara Laut Cina Selatan dan Selat Malaka serta Laut Jawa yang berada di sebelah Utara dan selatan. Wilayah ini berada di bagian barat pulau Bangka.

Di mana luas dari daerah tersebut sekitar 88 ha dengan ketinggian wilayah yakni sekitar 16 mdpl. Sementara itu, wilayah daratan tinggi mencapai ketinggian 125 Mdpl. Nama kerajaan ini terinspirasi dari kekayaan potensi yang berada di sekitar kawasan kerajaan berdiri.

Sejarah Kerajaan Kota Kapur

Adanya peradaban di wilayah kota kapur diawali dengan dijadikannya kawasan tersebut menjadi jalur perdagangan dunia. Pusat pemerintahan kerajaan kapur berada di wilayah aliran Sungai Mendo. Dahulunya wilayah tersebut dinamakan dengan Sungai Menduk.

Pada abad ke-7 Masehi, daerah tersebut menjadi pintu gerbang keluar masuknya par pedagang-pedagang. Terutama mereka yang berasal dari India dan Tiongkok. Ketika itu, kegiatan perdagangan mengandalkan pergerakan angin yang menggerakkan kapal saat berlayar di lautan.

Pusat perdagangan ketika berada di sekitar pesisir sehingga menyebabkan banyaknya pemukiman yang dibangun oleh masyarakat. Dengan adanya perdagangan menyebabkan keadaan ekonomi masyarakat cukup baik. Wilayah yang mudah diakses oleh perdagangan semakin meluas bahkan sampai ke pulau Jawa.

Wilayah kerajaan Kota Kapur dilindungi oleh benteng pertahanan yang terbuat dari tanah yang dibentuk memanjang. Tinggi dari benteng ini sekitar 2 sampai 3 meter. Benteng tersebut dibuat dalam bentuk dua tanggul.

Dimana setiap tanggulnya mempunyai panjang sekitar 1.200 meter dan 350 meter. Dari benteng inilah diketahui bahwa usia benteng mencapai atau berangka tahun 530-870 Masehi yang terhitung sejak pertengahan abad ke 6.

Benteng ini memiliki peranan penting yakni sebagai pertahanan wilayah dari serangan Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7 Masehi. Ketika itu, kerajaan Sriwijaya berusaha mengadakan ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaan. Pada akhirnya, Sriwijaya berhasil menguasai Pulau Bangka dengan ditandai adanya inskripsi Sriwijaya yang berangka tahun 686 Masehi.

Dengan adanya jalur perdagangan membuat masyarakat yang bermukim di sekitar kerajaan memiliki banyak interaksi sosial dengan banyak pihak bahkan daerah di luar Bangka. Dapat dilihat dari arkeolog yang ditemukan, masyarakat pernah menjalin hubungan dengan Kamboja dan India Selatan.

Sementara itu, untuk kehidupan agama Masyarakat menganut agama Hindu. Hal ini terlihat dari peninggalan kerajaan berupa Arca Wisnu dan Arca Durga Mahisasuramardhiji. Lebih tepatnya masyarakat menganut agama Hindu Waisnawa.

Kehidupan budaya masyarakat sekitar terpengaruh oleh adanya perdagangan dengan banyak wilayah. Hal ini seperti yang terjadi pada Arca Dewa Wisnu yang di mana menggunakan langgam pre Angkor. Sementara itu, terdapat pula kerajinan lainnya yang merupakan hasil akulturasi dengan kebudayaan daerah lain.

Seperti tembikar yang dibuat dengan menggunakan tipe Oc-Eo. Tembikar sendiri merupakan hasil dari akulturasi budaya setempat dengan Kamboja. Selain itu, ada pula tembikar hasil akulturasi dengan budaya India Selatan yakni tembikar arikmedu. Di mana tembikar tersebut memiliki bentuk seperti manik-manik yang terbuat dari batu karnelian.

Wilayah perairan di Selat Bangka ketika itu menjadi jalur perdagangan internasional yang banyak dikunjungi. Banyak sekali kapal-kapal asing singgah di sana. Bahkan di tempat itu dijadikan markas oleh seseorang yang ingin melakukan aksi perompakan.

Selat Bangka menjadi gerbang strategis jika ingin pergi ke Palembang melintasi sungai Musi yang ketika itu menjadi pusat dari Kerajaan Sriwijaya. Oleh sebab itulah, Raja Dpaunta Hyang yang menjadi raja dari Kerajaan Sriwijaya memutuskan untuk mengirimkan pasukan penyerang.

Pengiriman pasukan penyerang dilakukan guna melancarkan strategi perluasan wilayah kekuasaan kerajaan. Dengan adanya penyerangan, mereka ingin menguasai semua jalur perdagangan yang ada di wilayah pantai Sumatera. Di mana termasuk di antaranya wilayah kerajaan perlak yang ada di Aceh dan Kerajaan Tulang Bawang di Lampung.

Tidak hanya itu, mereka juga ingin menguasai kerajaan kota kapur. Maka dari itu, mereka menggunakan taktik yang sama untuk menaklukkan kerajaan kota kapur yakni dengan memberikan tawaran kerja sama. Adapun penawaran kerja sama tersebut berupa diangkatnya pihak kota kapur sebagai armada yang mengamankan wilayah laut.

Dimana nantinya akan menjamin para pedagang asing yang berada di wilayah tersebut. Jika kerajaan kota kapur menyetujui adanya kerja sama, hal tersebut menjadi pertanda keberhasilan kerajaan Sriwijaya menaklukkan wilayah Bangka.

Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab runtuhnya kerajaan kota kapur. Keberadaan kerajaan Sriwijaya di kota kapur dibuktikan dengan adanya prasasti kota kapur. Di mana di dalam prasasti tersebut dijelaskan bahwa Sriwijaya telah berkuasa di wilayah kerajaan kota kapur semenjak tahun 686 Masehi.

Masa Kejayaan Kerajaan Kota Kapur

Jika dilihat dari letak geografisnya, kerajaan kota kapur pernah mencapai puncak kejayaan. Kemudian hal tersebut didukung dengan adanya berita dari Tiongkok pada tahun 1436. Berita tersebut dibawa oleh seseorang bernama Fei Hsin.

Di dalam berita tersebut dijelaskan bahwa secara umum, tanah yang ada di Pulau Bangka termasuk ke dalam tanah yang subur dan dapat menghasilkan jumlah produksi yang tinggi. Beberapa produksi yang dapat dihasilkan berupa arak yang terbuat dari getah aren serta adanya produksi garam.

Tidak hanya itu, terdapat pula lada yang menjadi salah satu hasil bumi terbesar di wilayah Bangka. Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa timah menjadi produk yang banyak dihasilkan dan dijual sejak kerajaan Kota Kapur berdiri. Dalam bahasa Sanskerta, timah diartikan sebagai wangka sehingga masyarakat di Pulau Bangka banyak yang menyebut timah dengan sebutan wangka.

Diketahui bahwasanya penggunakan istilah tersebut sudah ada dalam sastra India yang berjudul Milindrapantha yang berangka tahun abad 1 hingga sebelum Masehi. Selain itu, terdapat pula istilah lain seperti Swarnabhumi yang dikenal sebagai Sumatera.

Dari berbagai aktivitas jalur perdagangan yang ada, komoditas yang paling banyak dibeli ialah besi tuangan, barang pecah belah, pot yang berasal dari tembaga dan kain sutera. Biasanya masyarakat membeli barang-barang tersebut dari para pedagang yang singgah di wilayah Pulau Bangka.

Peninggalan Kerajaan Kota Kapur

Benda-Benda Peninggalan

  1. Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur berbentuk tiang batu bersurat yang berada di pesisir barat Pulau Bangka, di desa Kota Kapur, Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini menjadi salah satu dokumen tulis tertua yang menggunakan bahasa Melayu.

Prasasti ini dipahat pada sebuah tugu batu dengan panjang sekitar 177 cm dan lebar pada bagian dasarnya yakni sekitar 32 cm. Pada bagian puncaknya mengerucut menjadi 19 cm. Prasasti ini merupakan kutukan dari Raja Dapunta Hyang pada daerah yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaannya.

Adanya penemuan Prasasti ini dilaporkan oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892. Adapun orang pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H. Kern. H. Kern merupakan seorang ahli epigrafi yang berkebangsaan Belanda yang ketika itu sedang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia.

Pada awalnya, ia menganggap “Śrīwijaya” merupakan nama seorang raja. Kemudian, George Coédes-lah mengungkapkan bahwa Śrīwijaya merupakan nama sebuah kerajaan di Sumatera pada abad ke-7 Masehi, suatu kerajaan yang kuat dan pernah menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaya, dan Thailand bagian selatan.

Sampai tahun 2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijksmuseum (Museum Kerajaan) Amsterdam, negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia.

  1. Benteng Pertahanan

Benteng ini dibangun menghadap ke daratan berada di sebelah timur, barat dan selatan. Wilayah pemukiman penduduk sekitar berada di tengah-tengah benteng dengan laut. Benteng ini membujur dengan memiliki panjang yang mencapai 1,5 km.

Pada bagian timur laut, terdapat kontur tanah yang cukup curam. Bangunan benteng dibangun dengan dua lapis dan tinggi yang hampir mencapai 4 meter. Namun, pada sisi lainnya hanya sekitar 2 sampai 3 meter dari permukaan. Adapun stratigafi benteng menggunakan tanah yang memiliki ketebalan mencapai sepuluh meter.

  1. Candi

Di situs kota kapur telah dilakukan ekskavasi yang di mana terdapat beberapa candi. Candi I memiliki bentuk bujur sangkar dengan setiap sisinya berukuran 4,5 x 4,5 meter. Diperkirakan candi ini memiliki akses dari sebelah Utara karena terdapat undakan. Candi I dibangun menggunakan batu kapur tufaan yang berwarna putih.

Sebagian besar batuannya memiliki bentuk bentuk balok dan sisanya tak beraturan. Di dalam candi I terdapat 13 fragmen arca batu dari 3 buah arca yang terpecah dan 60 buah mangkuk keramik serta 5 wadah besi yang menjadi alas peletakan mangkuk.

Sementara itu, candi II berada tidak jauh dari candi Pertama yakni sekitar 50 cm di sebelah barat laut. Untuk struktur batuannya sama dengan Candi I. Hanya saja ukurannya jauh lebih kecil yakni sekitar 2,65 x 2,65 meter dan hanya terdapat satu lapisan.

Pada bagian tengah candi terdapat batu laterit yang berbentuk lonjong dengan tinggi 40 cm. Pada bagian bawahnya berwarna merah dan bagian atasnya berwarna hitam. Batu ini mirip dengan lingga. Menuju dinding yang berada di sebelah Utara terdapat susunan batuan yang mirip dengan cerat yoni yang diperkirakan sebagai saluran air.

Pada bagian bawahnya terdapat beberapa batu dengan bentuk bulat yang diperkirakan memiliki fungsi seperti Soma sutra atau mengalirkan air suci. Terakhir, candi III yang lokasinya berbeda dengan penemuan candi I dan Candi II.

Lokasi candi ini berada di kebun karet seorang warga yang bernama Mahadil. Candi III ini terpendam di dalam gundukan tanah sedalam 60 cm dengan tinggi 120 cm. Untuk struktur batuan sendiri sama dengan Candi I dan Candi II namun dilengkapi dengan batuan berwarna merah dengan tekstur lunak.

Susunan batuan pada candi tidak beraturan hanya berupa bongkahan yang berjumlah 4 buah saja. Candi ini berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 3,12 x 3,19 meter. Terdapat pula tembikar, pecahan barang keramik dan dua buah perhiasan dari emas pada lokasi candi ketiga ini.

  1. Arca Wisnu

Pada tahun 1925 Masehi, ditemukan Arca Wisnu di kerajaan Kota Kapur. Pada penemuan selanjutnya yakni pada tahun 1944, masehi terdapat 13 fragmen arca yang berada di kawasan Candi I. Kemudian pada penemuan selanjutnya yakni tahun 1996 Masehi, ditemukan 8 buah fragmen arca.

Fragmen arca tersebut mengarah kepada arca dewa Wisnu uang memiliki tangan empat. Fragmen yang ditemukan berupa potongan tangan arca dengan posisi memegang terompet yang berasal dari cangkang siput atau yang biasa dinamakan dengan sangkha. Fragmen lainnya yakni tangan yang sedang memegang kuncup bunga teratai.

Selain fragmen tangan ditemukan pula dua potong arca yang menunjukkan bagian kepala laki-laki dengan mahkota yang berbentuk (kuluk). Pada bagian belakang Kuluk ada sebuah pahatan prabhamandala yang berbentuk lintang segi empat sebagai simbol sinar kedewaan.

Fragmen-fragmen yang ditemukan kemudian disatukan dan dilakukan rekonstruksi sehingga membentuk relatif Dewa Wisnu yang utuh dengan tinggi 80 cm.

  1. Dermaga

Ketika kerajaan Kota Kapur masih berdiri, dermaga dijadikan sebagai tempat kapal berniaga, bersandar dan singgah di Pulau Bangka. Saat dilakukan ekskavasi, terdapat tiang kayu yang berderet dengan jenis Nibung. Adapula kayu dengan jenis Pelangas yang berbentuk gelondongan. Di mana kayu-kayu tersebut ada lima buah yang disusun secara berjajar dari barat ke timur.

Berdasarkan hasil temuan patok serta ikatan ijuk yang berasal dari jenis pohon enau, jajaran kayu tersebut diduga menjadi lantai pijakan di dermaga. Terdapat jejeran tiang yang berjumlah dua di mana pada setiap deretnya terdapat 21 tiang.

Panjang jejeran pada masing-masing sisinya sekitar 6,7 meter dengan jarak penanaman antara tiangnya sekitar 20 sampai 30 cm. Sementara itu, pada jarak yang diapit oleh jejeran tiang berkisar 1 meter. Jika dilihat dari hasil analisis karbon tiang kayu pada dermaga diperkirakan berangka tahun 480 sampai 620 Masehi.

  1. Papan Perahu Kuno

Pada tanggal 25 September 2007, tim arkeolog dari Puslit Arkenas menemukan bangkai perahu kuno dari kerajaan Kota Kapur. Penemuan bangkai tersebut ada di dua lokasi yakni di jalur sungai Kupang dan sisi barat sungai. Dari lokasi pertama, perahu yang berhasil diambil hanya bagian papan dengan tebal 4 cm dan lebar 35 cm serta panjang 134 cm.

Permukaan papan pada bagian yang menghadap ke atas memiliki lubang sejumlah 17 dengan ukuran diameter sekitar 3 cm. Sementara itu, di bagian tepinya yang menghadap ke bawah terdapat 20 lubang. Lubang yang terletak pada empat suruh tersebut dipahat hingga menembus bagian tepi.