Masa Transisi Orde Baru (1966-1967) yang Perlu dipahami

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Sejak awal kemerdekaan dikumandangkan, Indonesia terus digempur berbagai konflik serta pergolakan yang berpotensi memecah bangsa. Perberontakan tanggal 30 September 1965 menjadi salah salah satu pergolakan terbesar dan paling berdarah di Indonesia.

Dan tak lama setelah peristiwa G30S/PKI terjadi, rezim orde lama pun menemui akhirnya, lalu awal rezim orde baru pun di mulai. Peristiwa ini sendiri ditandai oleh perpindahan tampuk kekuasaan, dari Ir. Soekarno kepada Jendral Soeharto.

Lahirnya Orde Baru ini sendiri, didasari oleh keinginan untuk memperbaiki secara menyeluruh segala penyimpangan yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Lama. Pada masa inilah setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia disusun kembali agar kekuatan bangsa dan stabilitas negara segera pulih; dan pembangunan nasional dapat secepatnya terlaksana.

Namun, rezim Orde Baru bukanlah sesuatu yang mudah untuk terwujud. Ada begitu banyak aksi dan pergolakan yang terjadi untuk mewujudkannya. Masa-masa itu sendiri dikenal sebagai masa transisi orde baru, yang terjadi pada tahun 1966-1967. Lantas, apa sajakah yang terjadi pada masa transisi orde baru? Berikut adalah penjelasannya.

1. Aksi-aksi Tritura

Peristiwa gerakan 30 September 1965 yang sungguh kejam dan penanganannya yang kurang memuaskan menyulut kemarahan rakyat. Hal ini berimbas pada kacaunya keadaan politik serta keamanan negara. Tak sampai disitu saja, keadaan ekonomi pun kian buruk hingga inflasi menyentuh angka 600%. Sementara usaha
pemerintah untuk melakukan devaluasi rupiah pun malah menimbulkan keresahan masyarakat.

Lalu, aksi-aksi yang menuntut agar pelaku G30S/PKI dihukum seadil-adilnya juga makin bergeliat. Aksi-aksi tersebut dipelopori oleh para pemuda, mahasiswa hingga pelajar yang membentuk kolompok-kelompok aksi bernama KAPPI, KAMI dan KAPI. Lantas munculah para buruh yang membentuk KABI, para sarjana membentuk KASI, para wanita membentuk KAWI, bahkan kalangan guru membentuk KAGI.

Kemudian pada tanggal 26 Oktober 1965 para kelompok aksi ini merapatkan barisan mereka dalam kesatuan Front Pancasila. Kelahiran front ini menjadikan gelombang demonstrasi semakin meluas. Dan ditambah dengan makin merosotkan perekonomian, kondisi politik pemerintahan pun bertambah panas.

Berlandaskan pada perasaan tak puas mengenai situasi kala itu, para pemuda serta mahasiswa pun mendatangi gedung DPR pada tanggal 12 Januari 1966 dan mengajukan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang berisi:

  • Pembubaran PKI;
  • Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI;
  • Penurunan harga/perbaikan ekonomi.

Sayangnya, tuntutan rakyat agar membubarkan PKI tak dipenuhi Presiden Soekarno. Beliau malah mengadakan perubahan dengan mengganti Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri dalam upaya menenangkan rakyat. Namun siasat ini tak berhasil sebab dalam Kabinet 100 Menteri masih terdapat oknum-oknum peristiwa G30S/PKI.

Maka pada tanggal 24 Februari 1966, saat pelantikan Kabinet 100 Menteri, para pemuda, mahasiswa serta pelajar melakukan aksi dengan berkumpul di jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Namun aksi itu berakhir nahas karena tewasnya seorang mahasiswa Universitas Indonesia yang bernama Arief Rachman Hakim karena bentrok dengan pasukan Cakrabirawa.

Esoknya, karena peristiwa itu, Presiden Soekarno membubarkan KAMI (Kelompok Aksi Mahasiswa Indonesia). Tak terima akan keputusan itu, para mahasiswa Bandung pun melakukan protes dengan mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan Kebenaran” dan mengajak rakyat melanjutkan perjuangan KAMI, yang segera disambut dengan munculnya massa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI).

Front Pancasila pun melakukan protes atas keputusan pembubaran KAMI dan meminta peninjauan ulang. Lalu pada tanggal 8 Maret 1966, para pelajar juga mahasiswa melakukan demonstrasi dan menyerbu juga mengobrak-abrik gedung Departemen Luar Negeri, membakar kantor berita Republik Rakyat Cina bernama Hsin Hua.

Aksi mereka ini pun menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno, yang memicu dikeluarkannya perintah harian yang menghimbau supaya seluruh lapisan masyarakat waspada terhadap upaya-upaya yang ingin membelokkan revolusi ke arah “kanan”.

Beliau juga meminta agar masyarakat bersiap sedia memusnahkan setiap upaya yang bertujuan mengganggu kepemimpinan, merusak kewibawaan, atau mengacaukan
kebijakan Presiden secara langsung maupun tak langsung; serta memperkuat “pengganyangan terhadap Nekolim” dan proyek “British Malaysia”.

2. Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)

Pasca gugurnya seorang mahasiswa UI yang berbuntut pembubaran KAMI, kondisi politik di Indonesia kian panas, hingga puncaknya pada tanggal 11 Maret
1966 presiden Soekarno mengadakan sidang kabinet untuk mengatasi krisis politik tersebut. Namun ternyata sidang ini diboikot oleh para demonstran, di mana mereka mengempesi ban-ban mobil yang melintas di  jalanan yang mengarah ke Istana.

Lalu tak lama setelah Presiden mulai berpidato, ia segera meninggalkan sidang lalu terbang ke Bogor karena mendapat berita jika terdapat pasukan tanpa tanda pengenal menunggu di luar. Kemudian tiga orang perwira tinggi angkatan darat menyusul Presiden ke Bogor dengan membawa pesan dari Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang kala itu sedang sakit.

Pesan Jenderal Soeharto itu berkaitan dengan pembicaraannya dengan Presiden Soekarno dalam pertemuan-pertemuanya sebelumnya. Yang intinya adalah mengenai kesediaan Jenderal Soeharto membubarkan PKI asalkan ia memperoleh kebebasan bertindak.

Presider Soekarno yang sebelum-sebelumnya selalu menolak untuk menyetujui usulan Jenderal Soeharto, pada akhirnya menyetujui usulan tersebut. Lalu usai dibahas bersama, Presiden Soekarno pun menandatangani surat perintah yang kemudian dikenal dengan nama Supersemar (Surat Perintah 11 Maret), yang dirumuskan oleh Muhamad Yusuf, Amir Machmud, dan Basuki Rachmat.

Supersemar sendiri berisi pemberian mandat kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keadaan serta wibawa pemerintah. Dan dalam menjalankan tugas ini, penerima mandat diwajibkan melaporkan mengenai segala sesuatunya kepada presiden.

Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Soeharto setelah menerima Supersemar ialah sebagai berikut:

  • Membubarkan serta melarang PKI berikut organisasi massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh Indonesia, terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966.
  • Memerintahkan para pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke sekolah dan kampus.
  • Mengeluarkan Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan G30S/PKI ataupun dianggap memperlihatkan iktikad kurang baik dalam menyelesaikan masalah tersebut.

3. Dualisme Kepemimpinan Nasional

Memasuki tahun 1966, pasca tragedi berdarah G30S/PKI, di Indonesia mulai tampak gejala krisis kepemimpinan secara nasional. Krisis kepemimpinan ini kemudian menimbulkan apa yang disebut “dualisme kepemimpinan nasional”. Yang pada akhirnya menghadirkan berbagai pertentangan dan gejolak politik antar masyarakat.

Di mana satu golongan masih memihak Presiden Soekarno yang kala itu masih menjabat presiden, meskipun pamornya kian menurun karena penolakkannya membubarkan PKI. Sementara golongan satu lagi memihak  Soeharto yang dianggap lebih aspiratif dan kian populer. Terlebih setelah beliau mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret lalu membubarkan PKI.

Kemudian, ada salah satu sidang MPRS yang diadakan sejak akhir bulan Juni hingga awal Juli 1966, diputuskan bahwa Supersemar ditetapkan sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Hal ini membuat Supersemar, secara hukum, tak akan dapat lagi dicabut oleh Presiden Soekarno.

Saat itu, walaupun Soekarno masih menjabat sebagai pemimpin kabinet, namun untuk pelaksanaan tugas harian pemerintahan telah diemban oleh Soeharto. Bahkan Soeharto memiliki kedudukan yang setara dengan Soekarno secara hukum, yakni Mandataris MPRS.

4. Akhir Masa Pemerintahan Soekarno

Bebagai macam usaha terus dilakukan untuk menenangkan gejolak politik yang melanda negeri di berbagai lapisan. Termasuk pendekatan secara pribadi kepada Presiden Soekarno yang dilakukan oleh pimpinan ABRI sendiri. Tujuannya adalah agar Soekarno mau melepaskan kekuasaannya lalu menyerahkannya Jenderal Soeharto.

Hal itu dimaksudkan untuk mengakhiri perpecahan di kalangan rakyat akibat dualisme kepemimpina. Juga untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan serta pribadi Soekarno.

Bahkan salah seorang sahabat, yakni Mr. Hardi, pergi menemui Soekarno dan menyarankannya agar menyatakan bahwa ia non-aktif di hadapan sidang Badan Pekerja MPRS. Dan akhirnya Soekarno pun melunak lantas menerima saran Mr. Hardi. Kemudian disusunlah “Surat
Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, yaitu Jendral Soeharto.

Setelah beberapa kali terjadi perubahan draft dan konsep, akhirnya pada Rabu, 22 Februari 1967, pukul 19.30 tepat, Presiden Soekarno mengumumkan pengunduran dirinya secara resmi. Lalu beberapa pekan kemudian, tepatnya pada 12 Maret 1967, Soeharto pun dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS—Jenderal Abdul Haris Nasution.

Dan akhirnya, setelah satu tahun berlalu. Dalam sebuah Sidang Umum V MPRS yang diadakan pada tanggal 27 Maret 1968, dihasilkan  Tap No. XLIV/MPRS/1968. Dan Jenderal Soeharto pun dikukuhkan menjadi Presiden Republik Indonesia yang kedua.

fbWhatsappTwitterLinkedIn