Seni

Design Thinking: Pengertian – Tahapan dan Penerapannya

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Banyak dari kita mungkin pernah mendengar tentang istilah Design Thinking. Semakin banyak organisasi yang menggunakan pendekatan human-centric guna mengembangkan produk dan layanan mereka baik yang sudah ada, serta dengan tetap menghasilkan ide-ide baru untuk pelayanan yang lebih baik ke depannya.

Menurut statistik, sebanyak 79% organisasi atau perusahaan setuju tentang hasil dari penerapan Design Thinking yang mampu meningkatkan proses penemuan ide-ide baru.

Sedangkan sebanyak 71% lainnya menikmati adanya perubahan yang signifikan dalam budaya kerja yang terbentuk setelah proses pengadopsian Design Thinking.

Pengertian Design Thinking

Design Thinking adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam pemecahan masalah yang mengacu pada serangkaian prosedur kognitif, strategis, praktis dan kreatif.

Hal ini didasarkan pada metode dan proses yang digunakan oleh tim desain, namun sebenarnya merupakan perkembangan dari berbagai bidang, seperti teknik, arsitektur, dan bisnis.

Namun demikian, Design Thinking juga dapat diterapkan ke dalam bidang apa pun, dan tidak harus spesifik untuk sebuah desain tertentu.

Design Thinking juga sering dikaitkan dengan metode dalam suatu inovasi produk atau layanan dalam konteks bisnis dan sosial. Penting juga untuk dicatat, bahwa Design Thinking memiliki konsep yang sangat berfokus dan berpusat pada manusia atau pengguna.

Di mana tim desain akan betul-betul berusaha memahami kebutuhan orang atau pengguna yang kemudian akan menghasilkan solusi yang efektif dan potensial guna memenuhi kebutuhan tersebut. Sehingga, konsep Design Thinking sering disebut dengan pendekatan berbasis solusi untuk pemecahan sebuah masalah.

Sebagai suatu proses yang sifatnya berulang, non-linear, Design Thinking mencakup beberapa kegiatan seperti analisis konteks, pengamatan dan pemahaman terhadap pengguna, penemuan dan pembingkaian masalah, perancangan dan pembuatan ide atau solusi, pemikiran kreatif, sketsa atau gambar, pembuatan suatu prototype, dan evaluasi.

Sedangkan untuk kemampuan inti dari Design Thinking mencakup beberapa hal, diantaranya:

  • Bertujuan memenuhi kebutuhan manusia yang konkret
  • Menangani masalah ambigu atau sulit untuk didefinisikan
  • Menghasilkan solusi inovatif
  • Menjadikan organisasi berjalan lebih cepat dan efisien

Latar Belakang dan Sejarah Design Thinking

Design Thinking memiliki sejarah yang membentang sekitar satu dekade lamanya, yaitu dari tahun 1950-an hingga 60-an dengan akar studi kognisi desain dan metode desain.

Dimulai pada 1945, tentang gambaran pada studi psikologi kreativitas seperti ‘Pemikiran Produktif milik Max Wertheimer, yang kemudian disusul oleh teori teknik kreativitas baru (1950-an) dan metode desain (1960-an) yang mengarah pada gagasan Design Thinking sebagai pendekatan khusus guna memecahkan suatu permasalahan secara efektif.

Penulis pertama yang menulis tentang Design Thinking adalah John E. Arnold dalam bukunya yang berjudul ‘Creative Engineering’ (1959) dan L. Bruce Archer dalam bukunya ‘Systematic Method for Designers’ (1965).

Dalam bukunya tersebut, Arnold membedakan Design Thinking menjadi empat bidang, yaitu fungsionalitas baru, tingkat kinerja solusi yang lebih tinggi, biaya produksi lebih rendah, dan peningkatan daya jual. 

Arnold merekomendasikan pendekatan yang seimbang, yaitu seorang pengembang produk harus mencari peluang di keempat bidang pemikiran desain tersebut guna mencapai hasil yang maksimal.

Sementara itu, L. Bruce Archer memiliki pendekatan yang diberi nama ’Metode Sistematis untuk Desainer’, yang berkaitan dengan proses desain yang sistematis.

Ia juga mengungkapkan kebutuhan untuk memperluas cakupan desain konvensional, dengan menggabungkan beberapa pengetahuan, seperti ilmu ergonomi, sibernetika, pemasaran dan ilmu manajemen ke dalam Design Thinking

Selain itu, Archer juga mengembangkan hubungan antara Design Thinking dengan ilmu manajemen. Ia menyatakan bahwa ‘Ketika pengambilan keputusan desain dan teknik pengambilan keputusan manajemen dilakukan dalam waktu yang berdekatan, akan timbul banyak kesamaan sehingga aspek yang satu tidak bisa menjadi pemecahan bagi yang lainnya’.

Pada tahun 2000-an, Robert McKim dan Rolfe Faste menjadi pihak yang melanjutkan pemikiran mengenai Design Thinking dari sejarah panjang yang diprakarsai oleh John E. Arnold di Stanford University.

Keduanya juga mengajarkan tentang ‘Design Thinking sebagai metode tindakan kreatif’, dan melanjutkan peralihan dari rekayasa kreatif ke manajemen inovasi. Kemudian pada 1991, Design Thinking oleh kolega Faste di Stanford, yaitu David M. Kelley untuk tujuan bisnis.

Pada 1980, Bryan Lawson menulis sebuah buku yang berjudul ‘How Designers Think’, yang mengulas tentang desain dalam arsitektur, memulai proses generalisasi konsep pemikiran desain.

Pada 1982, sebuah artikel yang ditulis oleh Nigel Cross dengan judul ‘Designerly Ways of Seeing’, menetapkan beberapa kualitas intrinsik dan kemampuan Design Thinking yang juga membuatnya relevan dalam pendidikan umum dan dengan demikian untuk khalayak yang lebih luas.

Pada tahun-tahun berikutnya juga banyak muncul tulisan-tulisan mengenai Design Thinking, seperti buku Design Thinking’ karya Peter Rowe tahun 1987, yang banyak menjelaskan mengenai metode dan pendekatan yang digunakan oleh arsitek dan perencana kota, dan menjadi penggunaan awal yang signifikan dari istilah tersebut dalam literatur penelitian desain. 

Pada 1991, muncul serangkaian simposium penelitian internasional mengenai Design Thinking yang dimulai di Delft University of Technology.

Pada 1992, muncul artikel milik Richard Buchanan berjudul ‘Wicked Problems in Design Thinking’ yang mengungkapkan pandangannya mengenai Design Thinking secara lebih luas yang digunakan sebagai seperangkat metode dalam mengatasi masalah sulit yang dimiliki manusia melalui desain tertentu.

Pemikiran ini lebih banyak mengulang ide-ide yang dikembangkan oleh Rittel dan Webber di awal 1970-an.

Tahapan dalam Design Thinking

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa proses Design Thinking bersifat progresif dan sangat berorientasi pada pengguna. Sebelum mengetahui tahapan Design Thinking secara rinci, alangkah baiknya untuk mengetahui prinsip dari Design Thinking terlebih dahulu.

Menurut Christoph Meinel dan Harry Leifer, dari Hasso Plattner of Design di Stanford University, California, terdapat empat prinsip utama Design Thinking, diantaranya:

  • The Human Rule (Aturan manusia). Tema dan konteks apa pun yang diterapkan oleh tim desain, semua aktivitas desain bersifat sosial. Di mana setiap inovasi sosial akan membawa kita kembali ke ‘sudut pandang yang berpusat pada manusia’.
  • The Ambiguity Rule (Aturan Ambiguitas). Ambiguitas dalam sebuah ide desain, merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Bahkan dihilangkan atau mungkin disederhanakan sekali pun. Melakukan eksperimen hingga batas pengetahuan dan kemampuan yang kita  miliki, merupakan upaya penting untuk dapat melihat sesuatu dengan berbagai perspektif berbeda.
  • All Design is Redesign (Aturan Desain Ulang). Pada dasarnya, semua bentuk desain merupakan desain ulang dari karya-karya sebelumnya. Teknologi dan keadaan sosial dapat berubah dan berkembang, namun beda halnya dengan kebutuhan dasar manusia yang sifatnya tetap atau tidak berubah. Untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut, tim desain lebih memilih untuk mendesain ulang sarana yang sudah ada guna mencapai hasil yang diinginkan.
  • The Tangibility Rule (Aturan Berwujud). Berbagai aturan berwujud digunakan oleh tim desain untuk membuat sebuah ide menjadi nyata dalam bentuk prototipe, yang memungkinkan para perancang untuk mengkomunikasikannya secara lebih efektif.

Berdasarkan empat prinsip utama Design Thinking di atas, tahapan dalam Design Thinking dapat dipecah menjadi lima fase berbeda, sesuai pernyataan Hasso Plattner Institute of Design Stanford University, yaitu empathise, define, ideate, prototype, dan test.

Fase 1: Empathise

Empathise atau empati menjadi awal paling penting dalam proses Design Thinking. Dalam fase ini, tim desain akan menghabiskan waktunya dalam mengenal pengguna, dalam kaitannya mengenal tentang kebutuhan, keinginan, dan tujuan pengguna.

Pemahaman dan pengamatan harus dilakukan tim desain harus masuk dalam ranah psikologis dan emosional. Hal terpenting yang harus dilakukan tim desain adalah mengesampingkan asumsi mereka dengan tetap mengumpulkan wawasan nyata sebanyak-banyaknya tentang pengguna.

Fase 2: Define

Define merupakan fase di mana tim desain akan melakukan pendefinisian masalah yang sedang dihadapi pengguna dari segala hasil temuan yang sudah dikumpulkannya dari fase Empathise.

Perancang akan mencoba memahami berbagai hal, seperti hambatan dan kesulitan apa yang sedang dihadapi oleh pengguna, pola masalah seperti apa yang sedang dihadapi perancang, dan masalah terbesar apa yang harus terlebih dahulu dipecahkan oleh perancang beserta timnya.

Pada akhir pengklasifikasian akan ditemukan masalah apa yang benar-benar sedang dihadapi pengguna secara jelas. Kuncinya adalah membingkai masalah dengan cara yang berorientasi pada ‘orang’ atau pengguna.

Setelah membuat rumusan masalah, tim desain akan menemukan solusi berupa ide-ide atau gagasan yang akan membawanya ke fase ketiga.

Fase 3: Ideate

Berdasarkan pemahaman kuat mengenai pengguna dan rumusan masalah yang jelas, tim desain akan mulai menerapkan solusi potensial.

Fase ideate merupakan tahapan penting untuk menunjukkan bahwa ide adalah sebuah zona bebas penilaian. Tim desain akan memikirkan dan merancang banyak ide guna menghasilkan sebanyak mungkin ide dan sudut pandang baru.

Ada beberapa teknik berbeda yang sering digunakan oleh tim desain, diantaranya seperti body storming, brainstorming, mind mapping, hingga provokasi. Namun demikian, di akhir fase ideate tim desain akan mempersempitnya menjadi beberapa ide yang berpotensi bisa digunakan untuk ke tahap selanjutnya.

Fase 4: Prototype

Fase keempat dalam Design Thinking tim desain akan melakukan eksperimen berupa visualisasi berbagai ide menjadi produk nyata, yang disebut dengan prototype.

Pada dasarnya, fase prototype merupakan versi dari sebuah produk yang diperkecil dengan menggabungkan solusi atau ide potensial yang telah diidentifikasi pada tahap sebelumnya.

Fase ini menjadi kunci dalam pengujian setiap ide dengan menyoroti kelemahan dan hambatan yang terdapat di dalamnya.

Sepanjang fase prototype ini, ide yang diusulkan bisa saja diterima, ditolak, atau harus didesain ulang berdasarkan pengalaman pengguna. Sehingga, di akhir fase ini tim desain akan memiliki gagasan yang lebih baik dan potensial dari sebelumnya.

Fase 5: Test

Setelah lolos dari fase prototype, akan masuk dalam tahap test atau pengujian. Hal penting yang perlu dicatat adalah, fase test belum tentu dan jarang menjadi akhir dari tahapan Design Thinking.  

Karena pada kenyataannya, hasil dari fase pengujian lebih sering membawa tim desain kembali ke tahapan sebelumnya.

Fase ini memberikan pengetahuan kepada tim desain tentang perlunya definisi ulang mengenai rumusan masalah awal yang akan berlanjut pada tahap pengeksplorasian ide atau gagasan baru yang belum pernah tim desain pikirkan sebelumnya.

Manfaat Penerapan Design Thinking

Poin utama dalam penerapan Design Thinking adalah mampu menawarkan proses inovasi yang pasti.

Selain itu Design Thinking juga memungkinkan suatu organisasi untuk mampu menciptakan sebuah nilai bisnis yang sangat besar, di mana tidak hanya memastikan bahwa produk hasil desain diinginkan oleh konsumen, namun juga layak sebagai bahan pertimbangan dalam hal anggaran dan sumber daya organisasi atau perusahaan.

Dengan pemikiran-pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa Design Thinking bermanfaat dalam sistem yang kompleks karena berbagai alasan berikut ini, diantaranya:

  • Bertujuan memenuhi kebutuhan manusia yang konkret

Dengan menerapkan pendekatan observasional yang berorientasi pada orang, tim desain akan mampu mengungkap titik-titik mana saja yang menjadi sumber masalah dari pengguna, yang bahkan sebelumnya tidak terpikirkan dan disadari oleh pengguna.

Sehingga, tim desain akan mampu memberikan solusi yang tepat dan potensial untuk titik-titik yang bermasalah tadi setelah upaya identifikasi

  • Menangani masalah ambigu atau sulit untuk didefinisikan

Pengguna seringkali tidak tahu masalah apa yang sedang mereka alami, bahkan meski mereka menyadarinya, terkadang mereka tidak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata yang tepat.

Namun, setelah dilakukan pengamatan dan pemahaman oleh tim desain, akan didapatkan hasil berupa perilaku-perilaku dari  pengguna.

Hal tersebut akan membantu tim desain mendefinisikan dan merumuskan masalah-masalah ambigu, yang akhirnya akan melahirkan solusi pemecahan terhadap masalah tersebut.

  • Menghasilkan solusi inovatif

Pada dasarnya, manusia tidak mampu membayangkan tentang hal-hal yang diyakini tidak mungkin bisa diraihnya, sehingga hal tersebut membuat mereka tidak berani untuk sekadar menanyakannya.

Design Thinking mampu membantu memunculkan berbagai masalah yang awalnya tidak pernah dibayangkan ada sebelumnya. Dengan melakukan pendekatan secara berulang-ulang, sering kali akan mengarahkan tim desain pada sebuah solusi inovatif.

  • Menjadikan organisasi berjalan lebih cepat dan efisien

Design Thinking lebih suka untuk membuat prototype yang kemudian diuji untuk melihat seberapa efektif mereka untuk pemecahan suatu permasalahan. Daripada melakukan penelitian pada suatu masalah dalam jangka waktu yang panjang tanpa menghasilkan sebuah hasil solusi pemecahan.

Penerapan Design Thinking

Sekitar tahun 2000-an dan 2010-an, ada pertumbuhan minat yang signifikan dalam penerapan Design Thinking di berbagai ranah atau bidang kehidupan manusia.

Sebagian besar orang memanfaatkan Design Thinking sebagai katalis untuk mendapatkan percepatan pada keunggulan kompetitif dalam bisnis, bahkan juga untuk meningkatkan kualitas pendidikan. 

Namun demikian, keraguan terhadap Design Thinking sebagai obat mujarab dalam suatu inovasi banyak diungkapkan oleh beberapa kritikus.

Berikut beberapa contoh dari penerapan Design Thinking dalam berbagai ranah kehidupan manusia.

Bisnis

Netflix merupakan perusahaan yang telah berulang kali menerapkan Design Thinking hingga kini menjadi salah satu industri layanan streaming terbesar di dunia.

Selama awal pendirian, Netflix dan Blockbuster, perusahaan pesaing utamanya, mengharuskan pelanggan pergi ke toko fisik untuk menyewa dan mengembalikan DVD. Hal tersebut tentunya menyulitkan bagi sebagian besar orang.

Namun, Netflix berusaha menghilangkan kesulitan tersebut dengan mengirimkan DVD langsung ke rumah pelanggannya dengan sistem berlangganan.

Selain itu, dalam industri perfilman, karena Netflix menyadari bahwa era DVD sudah ketinggalan zaman, maka mereka menciptakan layanan streaming berdasarkan permintaan. Tentunya hal ini juga telah mampu menghilangkan kesulitan dan ketidaknyamanan pelanggan karena harus menunggu DVD.

Pada 2011, Netflix juga menerapkan Design Thinking selangkah lebih maju dengan menanggapi kebutuhan pelanggan akan konten asli yang kemudian tidak ditayangkan di jaringan tradisional (televisi).

Pada 2016, Netflix menambahkan sebuah fitur di mana para pelanggannya mampu meningkatkan pengalaman dengan menambahkan cuplikan pendek dari acara rekomendasi ke beranda (antarmuka).

Setiap pembaruan dari Netflix tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan pelanggan yang didorong oleh proses Design Thinking yang efektif.

Kesehatan

Pada 2002, rumah sakit Memorial di South Bend dan Sistem Kesehatan Nasional Kesehatan Amerika Serikat bekerja sama dengan IDEO (Leading Global Design & Innovation) guna mengembangkan pusat perawatan jantung dan pembuluh darah baru di rumah sakit tersebut.

Kegiatan pertama mereka adalah mengamati dan mengikuti pasien, perawat, dan dokter selama berminggu-minggu.

Mereka juga melakukan pendalaman melalui 3 lokakarya yang masing-masing dilakukan selama 2 hari, kemudian menyatukan semua informasi yang didapatkan melalui teknik brainstorming dan alat visualisasi guna menghasilkan ide dan prototype baru.

Kegiatan ini membuat beberapa staf rumah sakit terlibat secara mendalam dalam pengembangan desain baru, dengan mendeteksi berbagai masalah dan area untuk perbaikan.

Pada akhir kegiatan, pihak rumah sakit, Sistem Kesehatan Nasional, dan IDEO berhasil mendapatkan solusi untuk masing-masing.

Namun demikian, dari semua hasil yang didapatkan, manfaat yang paling banyak diterima adalah adanya peningkatan motivasi, kerja sama tim, dan iklim lingkungan kerja yang lebih sehat dan terbuka.

Teknologi dan Informasi

Penerapan Design Thinking dalam skala besar di ranah teknologi dan informasi dapat dilihat di Estonia, negara pasca-Soviet. Estonia memiliki sebuah rencana revolusioner yang berpotensi mengubah sistem negara dari negara tradisional menjadi negara digital.

Proyek ini disebut dengan e-Estonia. Tujuan utama Estonia adalah menghubungkan semua untaian negara, baik pendidikan, layanan kesehatan, pajak, kepolisian, pemungutan suara, dan lainnya, ke dalam satu platform.

Estonia berpikir terhadap keefektifan sistem birokrasi, di mana semua  warganya tidak perlu lagi menjalani hidup repot yang mana semuanya dapat diselesaikan secara online.

Manfaat yang didapat Estonia dari inovasi ini adalah negara mampu menghemat sekitar 2% dari PDB untuk biaya. Selain itu, banyak pengusaha dari berbagai negara yang kini melakukan investasi dan menguji produk mereka di Estonia.

Secara tidak langsung, Estonia tidak hanya menghemat pengeluaran APBN mereka untuk pengeluaran, namun juga mendorong adanya investasi dari seluruh dunia.

Revolusi digital di Estonia telah mengubah ‘image’ negara tersebut dari yang awalnya terkenal karena industri kayu, menjadi negara maju berbasis digital.