Daftar isi
Terletak di pusat Asia, kelompok etnis Uyghur memiliki sejarah yang panjang dan penuh liku. Berlimpahnya sumber daya alam dan lokasi strategis antara Timur dan Barat, menjadikan wilayah Uighur banyak mengalami pergolakan politik.
Sejarah
Sejarah dan asal-usul etnis Uighur merupakan suatu hal yang masih menjadi perdebatan oleh beberapa ahli dan cendekiawan hingga saat ini. Muhammad Amin Bughra, Politisi dan sejarawan Uighur, dalam bukunya A History of East Turkestan, menekankan bahwa Turki menjadi bagian penting dalam sejarah etnis Uighur.
Sementara para sarjana China modern menegaskan bahwa etnis Uighur terbentuk setelah runtuhnya Kekhanan Uighur pada 840 M, di mana telah terjadi asimilasi antara penduduk lokal Cekungan Tarim dan daerah di sekitarnya.
Uyghur Khaganate
Uighur Khaganate merupakan kelompok etnis Uighur yang berasal dari konfederasi Turki, Tiele. Mereka tinggal di berbagai lembah di selatan Danau Baikal dan sekitar Sungai Yenisei. Mereka menggulingkan Kekhanan Turki Pertama kamudian mendirikan Kekhanan Uighur (744 M – 840 M).
Kekhanan Uighur beroperasi di ibu kota kekaisaran Ordu-Baliq, salah satu kota kuno di Mongolia. Pada 840 M, setelah mengalami kekalahan dalam perang saudara dan terjadi kelaparan, Kekhanan Uighur dikuasai oleh Yenesei Kirghiz, bangsa Turki lainnya.
Kerajaan Uighur
Setelah Khaganate runtuh, penduduknya memilih untuk tinggal di wilayah antara Karluk dan tempat-tempat seperti Jimsar, Turpan, dan Gansu. Mereka mendirikan dua kerajaan, yakni Kerajaan Ganzhou (870-1036) yang ada di bagian paling timur dan memerintah sebagian wilayah Xinjiang, dengan ibu kotanya di Gansu (sekarang Tiongkok). Para sejarawan meyakini bahwa mereka adalah nenek moyang dari Uighur modern saat ini.
Yang kedua adalah Kerajaan Qocho (Abad ke-9 hingga ke-14) yang memerintah bagian yang lebih besar di Xinjiang, dan banyak yang menyebut mereka sebagai Uighuristan di era selanjutnya.
Qocho didirikan di daerah Turpan dengan ibu kotanya di Qocho (sekarang Gaochang) dan Beshbalik. Pada 1130-an, Qocho menerima Qara Khitai sebagai pemimpin, dan pada 1209 mereka tunduk kepada Kekaisaran Mongolia yang bangkit kembali, secara sukarela.
Islamisasi
Pada abad ke-10, Yagma, Chigil, Karluk, dan berbagai suku Turki lainnya bersatu mendirikan Karakhanid Khanate di Semirechye, Tian Shan Barat dan Kashgaria. Banyak yang berpendapat bahwa pemimpin Karakhanid adalah Yagma yang memiliki hubungan dengan Toqus Oghuz, yang nantinya akan menjadi penghubung antara Karakhanid dan Uighur dari Kekhanan Uighur. Meski banyak ahli lain pula yang membantahnya. Selama berkuasa, mereka telah menaklukkan Transoxiana.
Islamisasi pada Karakhanid terjadi pada abad ke-10 yang dimulai oleh Sultan Satuq Bughra Khan, dari Dinasti Turki Pertama. Ini merupakan peristiwa penting dalam sejarah kelompok etnis Uighur modern. Pada abad ke-11, Karakhanid Muslim Turki mampu menaklukkan Kerajaan Buddhis Saka Indo-Iran di Khotan dari kekuasaan Kashgar, dan secara bertahap penduduknya memeluk Islam hingga abad ke-17.
Dinasti Qing
Penaklukkan Dzungar atas Khanate Altishahr pada abad ke-17 menjadi awal runtuhnya kekuasaan Khanate. Ekspansi mereka pada akhir abad ke-17 ke wilayah Khalika Mongol membawa mereka ke sebuah konflik dengan Dinasti Qing. Konflik berlangsung selama satu dekade yang mendorong terjadinya invasi dan penaklukan Cekungan Tarim oleh Qing pada 1759, dan etnis Uighur dari Turfan dan Hami menjadi sekutu Qing saat itu.
Pada 1750-an, Qing melakukan genosida terhadap Dzungar dan penghancuran Dzungar Buddha menyebabkan terjadinya pemberdayaan Muslim Beg di Xinjiang selatan, migrasi Taranchi Muslim ke Xinjiang utara, dan peningkatan kekuasaan Muslim Turki. Pada abad ke-18, komunitas Uighur pindah ke Beijing karena kemenangan Qing secara tidak langsung merupakan kemenangan umat Islam di China.
Pada 1765, terjadi pemebrontakan Ush, di mana Uighur melawan Manchu akibat beberapa insiden salah aturan dan pelecehan yang menyebabkan kemarahan besar dari Uighur. Saai itu, kota Uighur dibakar dan masyarakat Uighur dibantai dan diperbudak atas perintah Kaisar Manchu.
Republik Turkestan Pertama
Pada 1912, Dinasti Qing lengser dan diganti dengan Republik Tiongkok. Pan-Turki yang saat itu menguasai Xinjiang, menjadi tantangan besar bagi panglima perang Tiongkok Yang Zengxin. Pada 1920-an akhir, Uighur mulai melakukan upaya pemberontakan yang akhirnya meletus pemberontakan Kumul (1931) yang mengarah pada pembentukan pemerintahan baru di Khotan.
Pada 1932, terbentuk Republik Turkestan Pertama. Saat itu, etnis Uighur bergabung dengan Uzbek, Kazakh, dan Kyrgyz yang berhasil mendeklarasikan kemerdekaan pada 12 November 1933. Mereka menguasai beberapa wilayah, seperti Atush, Kashgar, Yarkent, dan sebagian Khotan sebelum dihancurkan pada Oktober 1937, setelah intervensi dari Soviet. Sebanyak 50.000 hingga 100.000 orang Uighur dibunuh oleh Sheng Shicai setelah pemberontakan ini.
Republik Turkestan Timur Kedua
Penindasan yang dilakukan Pemerintahan di wilayah Uighur memicu kekecewaan kelompok etnis Uighur dan masyarakat Turki lainnya yang menetap di wilayah tersebut. Penasihat Soviet juga diusir oleh Sheng menyusul dukungan dari AS untuk partai Kuomintang Republik Tiongkok.
Situasi ini dimanfaatkan oleh Soviet untuk menyerang balik AS dan Tiongkok, hingga terjadi pemberontakan Ili pada Oktober 1944 yang mengakibatkan berdirinya Republik Turkestan Timur Kedua pada 12 November 1944 di 3 distrik yang sekarang merupakan Prefektur Otonomi Ili Kazakh.
Masyarakat Uighur terpecah menjadi 2 kubu, yakni kubu yang pro dengan Republik Tukestan Timur Kedua dan kubu yang mendukung Republik Tiongkok. Pada 1949, Soviet membunuh sebanyak 30 pemimpin teratas Republik Turkestan Timur Kedua beserta 5 pejabat puncak yang tewas secara misterius dalam kecelakaan pesawat pada Agustus 1949.
Era Kontemporer
Pada 1 Oktober 1949, Mao mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Republik Turkestan Timur Kedua dibah menjadi Prefektur Otonomi Kazakh Ili, dan Saifuddin Azzizi sebagai gubernur Partai Komunis pertama di wilayah tersebut. Sementara Xinjiang diubah menjadi Daerah Otonomi Uighur Xianjang, karena Uighur merupakan etnis terbesar di kawasan tersebut yang sebagian besar penduduknya terkonsentrasi di Xinjiang barat daya.
Selama pembentukan pemerintahan baru, telah terjadi konflik yang tidak ada henti-hentinya dari etnis Uighur. Mereka terbagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama menganggap bahwa pendirian Republik Turkestan Timur Kedua merupakan hal ilegal. Kelompok kedua menyatakan dukungan mereka terhadap visi Pan-Islam dan visi Pan-Turki.
Sementara kelompok terakhir menginginkan adanya negara Turkestan Timur, yaitu Gerakan Kemerdekaan Turkestan Timur. Pemerintah Turkestan Timur yang sedang dalam pengasingan tetap berusaha dalam upaya pemulihan kemerdekaan Turkestan Timur sebagai negara Republik yang pluralistik sekuler.
Upaya tersebut mengakibatkan kelompok Uighur di masing-masing kamp melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok Uighur lain yang dianggap terlalu berasimilasi dengan masyarakat China atau Rusia dan tidak terlalu religius. Sadar untuk tidak memihak, Rebiya Kadeer, pemimpin Uighur, berusaha melakukan penggalangan dukungan internasional untuk hak dan kepentingan etnis Uighur.
Dalam buku milik Eric Enno Tamm tahun (2011), dikatakan bahwa telah dilakukan banyak penyensoran terhadap tulisan-tulisan tentang Uighur dan banyaknya dana yang dikeluarkan untuk menutup sejarah resmi yang menggambarkan ekspansi teritorial Tiongkok di perbatasan etnis Uighur.
Karakteristik Etnis Uighur
Berikut ada beberapa poin yang dapat menjelaskan karakteristik kelompok etnis Uighur.
- Geografis
Etnis Uighur menempati serangkaian oasis yang tersebar di Gurun Taklamakan di wilayah Cekungan Tarim dengan luas lebih dari 1.709.000 km persegi. Wilayah ini memiliki pegunungan setinggi 26.000 kaki dengan gletser, hutan cemara dan padang rumput, gurun pasir yang bergeser, oasis jalan sutra dengan bazar dan pameran rakyat, serta kota-kota yang telah hancur.
Wilayah tersebut terbagi oleh pegunungan Tengritagh menjadi dua wilayah, yaitu selatan dan utara. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya perbedaan iklim yang sangat mencolok, wilayah utara lebih dingin dengan tingkat curah hujan dan salju yang tinggi, sementara wilayah selatan lebih kering dan lebih hangat.
Bagian selatan wilayah Uighur terdapat gurun pasir terbesar kedua di dunia, yaitu Gurun Taklimakan, dan cekungan pedalaman terbesar di dunia, yaitu Cekungan Tarim. Sementara bagian utara wilayah Uighur terdapat cekungan Junggar, dan juga dikelilingi oleh jajaran pegunungan yang tertutup salju dan pohon seperti Pegunungan Altay.
Wilayah utara ini dikenal dengan lembah sungai dan pegunungannya yang subur dan menjadi tempat tinggal bagi orang-orang nomaden dari Kazakhstan dan Mongol Torgut hingga saat ini. Sedangkan di wilayah barat terdapat Pamir, dan di wilayah selatan dibatasi oleh Pegunungan Karakoram, Altun, dan Kunlun.
- Bahasa
Awalnya masyarakat etnis Uighur kuno di Cekungan Tarim berbicara dalam beberapa bahasa, seperti bahasa Tokharia, Saka (Khotan), dan Gandhari. Kemudian pada abad ke-9, orang-orang Turki yang bermigrasi ke wilayah tersebut membawa serta bahasa mereka yang secara perlahan mengubah bahasa asli penduduk setempat.
Mahmud al-Kashgari mencatat, pada abad ke-11 masyarakat etnis Uighur di Qocho berbicara dalam bahasa Turki murni, namun demikian mereka masih berbicara menggunakan bahasa lain, sehingga mereka menguasai dua aksara (tulisan) berbeda.
Sementara bahasa Uighur modern merupakan cabang dari bahasa Karluk, yang masih serumpun dengan bahasa Turki. Bahasa Uighur adalah bahasa aglutinatif, dan memiliki struktur subjek – objek – kata kerja. Harmoni vokal yang mereka miliki juga mirip dengan bahasa Turki. Uighur modern telah mengadopsi sejumlah aksara untuk bahasa mereke, seperti aksara Arab (alfabet Chagatay), dan Kona Yexiq (aksara lama).
Namun, pada abad ke-20 banyak mengalami reformasi skrip akibat perubahan politik di Tiongkok. Sebagai contoh, alfabet Cyrillic Uighur yang berbasis Cyrillic dan Naskah baru Uighur yang menggunakan aksara latin yang dirancang pada abad ke-21. Pada 1990-an, masih banyak masyarakat etnis Uighur di Xinjiang yang tidak bisa berbahasa Mandarin
Masyarakat Uighur kuno merupakan penyembah dewa-dewa, yang memunculkan praktik perdukunan dan Tengrisme. Selain itu, pada 762 M atau 763 M, mereka juga mempraktikkan Zoroastrianisme dan Manichaeisme sebagai agama. Setelah mereka pindah ke wilayah Qocho, mereka beralih ke ajaran Buddhisme dan sebagian percaya pada ajaran Gereja Asiria Timur.
Pada awal periode Kara-Khanid Khanate, masyarakat Uighur yang ada di wilayah Cekungan Tarim Barat mulai masuk Islam, yang kemudian berlanjut di bawah pemerintahan umat Muslim. Al Qur’an menjadi dasar aturan praktik kehidupan masyarakat Uighur, seperti pernikahan, ekonomi, hukum, dan politik.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, terjadi penyebaran agama Kristen di masyarakat Uighur, namun upaya tersebut gagal karena ada tekanan dari pemerintah Republik Turkestan Timur Pertama. Banyak gereja-gereja yang dihancurkan dan terjadi penganiayaan terhadap mereka yang memercayai ajaran Kristen. Pada 2009, dari data sensus nasional terdapat 0,5% atau sekitar 1.142 orang etnis Uighur di Kazakhstan yang memeluk agama Kristen.
Sementara sebagian Uighur modern merupakan Muslim, dan menjadi etnis Muslim terbesar kedua di China setelah Hui. Mayoritas dari mereka adalah Sunni, dan terkadang ada konflik antara yang beraliran Sufi dan non-Sufi. Masyarakat modern Uighur menganggap Islam sebagai bagian dari identitas mereka, namun setiap wilayah memiliki tingkat ketaatan yang berbeda-beda, dan
Sebagian besar karya literatur kuno masyarakat Uighur merupakan hasil terjemahan dari teks agama Buddha dan Manichaean. Terdapat juga karya-karya naratif, puisi dan, epos asli Uighur. Namun, karya sastra pada periode Kara-Khanid dianggap sebagai literatur modern masyarakat Uighur dan menjadi bagian penting dari tradisi literatur mereka.
Di antara karya periode Kara-Khanid diantaranya adalah teks Agama Islam dan sejarah masyarakat Turki, salah satunya adalah Kutadgu Bilig yang merupakan karya penting di era tersebut. Karya lainnya seperti Wisdom of Royal Glory karya Yusuf Khass Hajib (1069-1070), Diwanu I-Lugat karya Mahmud al-Kashgari, A Dictionary of Turkic Dialects (1072) dan Etebetulheqayiq karya Ahmed Yukneki.
Sementara karya literatur agama Uighur era modern seperti Tazkirah yang merupakan biografi dari tokoh dan orang suci Islam. Dalam bahasa Turki disebut dengan Tadhkirah Khwajagan yang ditulis oleh M. Sidiq Kashghari. Terdapat banyak manuskrip berbahasa Turki yang khusus berisikan kisah-kisah sultan, martir, dan orang-orang suci setempat antara 1600-an dan 1900-an.
- Kebudayaan
Yengisar merupakan wilayah masyarakat Uighur yang terkenal sebagai pembuat pisau. Laki-laki yang embawa pisau, oleh masyarakat Uighur digunakan sebagai simbol maskulinitas pemakainya, namun juga sering menimbulkan ketegangan dalam etnis. Kini telah dilakukan pembatasan terhadap penjualan pisau, karena dikhawatirkan akan terjadinya terorisme, serangan, atau serangan.
Sanam merupakan tarian rakyat paling populer di kalangan masyarakat Uighur. Tarian ini biasanya diiringi sebuah lagu dan musik, serta seringnya ditarikan di berbagai acara dan perayaan, seperti pesta pernikahan, festival tahun baru (Newruz), dan lain sebagainya. Jenis tarian lain yang berkembang di kalangan masyarakat Uighur antara lain tari Dolan, Shadiyane, dan Nazirkom.
Muqam adalah gaya musik klasik dan epos lisan nasional etnis Uighur. Muqam berkembang di kalangan masyarakat Uighur China Barat Laut dan Asia Tengah selama kurang lebih 1500 tahun terakhir dari sistem maqamat Arab yang telah menghasilkan berbagai genre musik di antara penduduk Eurasia dan Afrika Utara. Pada 1950-an, terjadi perkembangan signifikan muqam di wilayah Tarim Barat yang kini menjadi kanon besar dalam musik dan lagu yang direkam, siantaranya pemain tradisional Turdi Akhun dan Omar Akhun.
- Obat-obatan Tradisional
Unani merupakan obat tradisional masyarakat Uighur, yang secara historis digunakan pada masa Kekaisaran Mughal. Percy Sykes, seorang diplomat dan serdadu Inggris, menggambarkan unani seperti teori Yunani kuno, karena mampu mengobati berbagai penyakit meski penyembuhannya tetap harus bertahap. Saat ini, unani masih bisa ditemukan di kios-kios pinggir jalan Xinjiang, Tiongkok.
- Mata Pencaharian
Sebagian besar masyarakat etnis Uighur berprofesi sebagai petani. Mereka unggul dalam teknik irigasi karena mampu mengubah daerah gersang menjadi lahan untuk budidaya tanaman, salah satunya adalah “karez”, yaitu pembangunan dan pemeliharaan saluran bawah tanah dengan mengalirkan air dari pegunungan ke ladang ke mereka. Terdapat beberapa produk pertanian terkenal, diantaranya apel (dari wilayah Ghulja), anggur (dari Turpan), dan melon manis (dari Hami).
Masyarakat Uighur juga banyak yang bekerja di industri pertambangan, manufaktur, dan petrokimia. Selain itu, industri rumahan masyarakat Uighur juga berperan penting dalam menopang sistem perekonomian mereka, seperti menenun permadani dan mengukir batu giok. Beberapa tahun belakangan, pemerintah Tiongkok melalui salah satu program tindakan afirmatif memberi kesempatan kepada masyarakat Uighur untuk bekerja di sektor swasta dan publik di Tiongkok.
- Masakan
Makanan masyarakat Uighur merupakan perpaduan antara Asia Tengah dan Tiongkok. Salah satu yang paling khas adalah polu, yaitu campuran antara wortel dan daging kambing (atau ayam) yang digoreng terlebih dahulu dengan minyak dan bawang, lalu ditambahkan nasi dan air yang kemudian dikukus. Taburkan kismis atau aprikot kering ke atas hidangan setelah matang.
Ada beberapa makanan lain yang biasa disantap oleh masyarakat Uighur, seperti kawaplar, kebab, leghmen, samsa dan goshnan (pai domba panggang), youtazi (roti kukus berlapis-lapis), shorpa (sup domba), girde (mirip roti bagel), dan lain sebagainya.
Selain itu, setiap wilayahnya memiliki buah khas mereka sendiri yang rasanya segar dan kering tergantung iklim. Masyarakat Uighur juga memiliki teh khas mereka sendiri, yang disebut dengan naam.
- Penggunaan Nama
Semenjak Islam menyentuh peradaban etnis Uighur, sebagian besar dari mereka menggunakan penamaan Arab untuk anak-anaknya. Namun, nama tradisional Uighur masih digunakan oleh beberapa masyarakat Uighur. Begitu pula setelah Uni Soviet berdiri, banyak dari penduduk Uighur yang belajar di Asia Tengah Soviet, dan semenjak itu pula beberapa dari mereka menambahkan suffix Rusia ke nama keluarga mereka.
Nama-nama yang berasal dari Eropa dan Rusia banyak digunakan oleh masyarakat Uighur yang berada di kota Qaramay dan Urumqi. Sedangkan nama-nama dengan nuansa Arab dan Persia dengan etimologi yang sulit dipahami digunakan oleh sebagian lainnya. Namun, pemerintah Tiongkok telah melarang sebanyak dua lusin nama Islam untuk digunakan. Sedangkan nama-nama Uighur pra-Islam telah disimpan di wilayah Turpan dan Qumul (Hami).
Genosida Uighur di Xinjiang
Xi Jinping mulai berkuasa pada November 2012 ketika ia diangkat menjadi Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok. Pengaruh Xi di Tiongkok bertambah kuat ketika ia diangkat menjadi Presiden Republik Rakyat Tionkok pada Maret 2013. Banyak masyarakat terutama etnis Uighur berharap Xi mampu mampu menjadi pemimpin yang progresif, namun semuanya pupus ketika penekanan pada keseragaman dan kesesuaian menjadi jelas.
Sejak 2014, etnis Uighur berada di bawah kontrol dan pembatasan ekstensif yang diberlakukan otoritas Tiongkok terhadap kehidupan beragama, berbudaya, ekonomi, maupun sosial mereka. Pengawasan polisi di Xinjiang telah diperluas guna menghindari adanya ektrimisme agama, seperti kepemilikan buku tentang Uighur, jenggot, sajadah, cadar, dan berhentinya kebiasaan minum dan merokok.
Hal paling ekstrem adalah dipasangnya kamera cctv di setiap rumah warga di Xinjiang. Setidaknya lebih dari 1 juta orang Uighur ditahan di kamp-kamp penahanan massal, guna mengubah identitas diri, politik, dan agama mereka. Pada 2012, Human Right watch merilis laporan yang menyatakan bahwa pemerintah China harus segera menutup dan membebaskan etnis Uighur yang ditahan di kamp-kamp penahanan tersebut.
Antara tahun 2016 dan 2018, melalui satelis telah diketahui bahwa ukuran operasi mengalami peningkatan dua kali lipat, dan otoritas Tiongkok telah menghancurkan lebih dari 2 lusin situs keagamaan Muslim Uighur. Pada januari 2021, Dominic Raab, Menteri Luar Negeri Inggris mengatakan bahwa tindakan China terhadap Uighur sama dengan penyiksaan. Sementara pemerintah AS menyatakannya sebagai genosida.