Statelessness (Orang Tanpa Kewarganegaraan): Pengertian – Penyebab dan Dasar Hukum

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Secara historis, statelessness dianggap sebagai kondisi akibat kelalaian dan kegagalan manusia secara universal yang dimulai sejak zaman evolusi hingga munculnya peradaban manusia pertama.

Kegagalan dalam merangkul perbedaan menyebabkan kelompok minoritas terasingkan dan perlahan terlupakan. Statelessness membuat seseorang tidak dapat memperoleh perlindungan dan hak-hal lain dari negara.

Pengertian

Statelessness atau orang tanpa kewarganegaraan adalah keadaan seseorang yang menurut undang-undang nasional, tidak dianggap sebagai warga negara oleh negara mana pun karena tidak memiliki ikatan hukum antara pemerintah dan individu tersebut.

Tanpa status kewarganegaraan formal, seseorang tidak akan memiliki hak terhadap perlindungan dan akses ke hak-hak dasar dan layanan esensial layaknya seseorang dengan status kewarganegaraan resmi, misalnya seperti hak pendidikan, perawatan kesehatan, pekerjaan, properti, kesejahteraan sosial atau bahkan menikah.

Sebagian dari orang tanpa kewarganegaraan merupakan pengungsi. Namun demikian, tidak semua dari pengungsi tidak memiliki kewarganegaraan, dan kebanyakan dari orang tanpa kewarganegaraan tidak pernah melewati perbatasan internasional.

Sejarah

Berikut ini terdapat beberapa tahapan sejarah kemunculan statelessness yang dimulai dari zaman kuno, sebelum Perang Dunia II, setelah Perang Dunia II, statelessness setelah tahun 1961 hingga sekarang.

Zaman Kuno

Ketika negara-negara mulai terbentuk, berbagai perbedaan mulai berkembang di antara mereka yang memiliki semacam keterikatan hukum dengan pemerintah yang lebih kompleks yang kemudian diakui sebagai negara.

Sementara mereka (suku-suku) yang masih hidup di berbagai wilayah yang belum diatur atau ditaklukkan oleh negara-negara yang lebih kuat, akan dianggap tidak berkewarganegaraan (statelessness) dalam pengertian modern.

Sebelum Perang Dunia II

Beberapa karakteristik statelessness yang dapat dilihat di era sebelum terjadinya Perang Dunia II adalah pada orang-orang murtad dan budak dalam masyarakat Islam. Mereka dijauhi karena menolak identitas agama mereka dan mengakibatkan mereka dimasukkan ke dalam kelompok kelas bawah.

Selain itu, istilah kewarganegaraan juga digunakan untuk mencirikan orang Romani yang memiliki cara hidup tradisional secara nomaden. Yang berarti mereka telah melakukan perjalanan melintasi dan tinggal di tanah yang diklaim oleh orang lain.

Sebelum dan sesudah peristiwa Holocaust, banyak orang Yahudi yang berstatus statelessness karena undang-undang Nuremberg tahun 1935 mencabut kewarganegaraan Jerman mereka.

Setelah Perang Dunia II

Setelah berakhirnya Perang Dunia II (1945), didirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sejak awal pendiriannya, PBB sudah banyak berurusan dengan kekejaman perang, termasuk jumlah populasi pengungsi yang sangat besar di Eropa yang kebanyakan dari mereka berstatus statelessness.

Pada 1948, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) meminta agar Sekretaris Jenderal PBB melakukan sebuah studi tentang statelessness guna mengupayakan keadaan para pengungsi di Eropa tersebut. 

Di tahun yang sama, dilakukan adopsi terhadap Deklarasi Universal HAM, di mana dalam undang-undang tersebut berisikan tentang pemberian hak atas suaka (Pasal 14) dan hak atas kewarganegaraan (Pasal 15). Secara tegas, deklarasi tersebut juga melarang pencabutan kewarganegaraan secara sewenang-wenang, yang mana telah banyak memengaruhi banyak pengungsi di masa perang.

Pada 1954, PBB mengadopsi Konvensi yang berkaitan dengan Status Orang Tanpa Kewarganegaraan. Dalam konvensi ini berisikan definisi dan hak-hak yang harus dimiliki oleh orang-orang dengan status tanpa kewarganegaraan. Pada 1961, PBB kembali mengadopsi Konvensi Pengurangan Keadaan Tanpa Kewarganegaraan. Pada 2014, UNHCR mengeluarkan Buku Pegangan Perlindungan Orang Tanpa Kewarganegaraan.

Setelah Tahun 1961

Pada 13 Desember 1975, Konvensi Pengurangan Keadaan Tanpa Kewarganegaraan yang diadopsi pada 1961 mulai berlaku. Pemberlakuan ini memberikan sejumlah standar mengenai akuisisi dan kehilangan kewarganegaraan, baik kehilangan secara otomatis, penolakan, maupun pencabutan kewarganegaraan. Pada 1974, Majelis Umum PBB juga meminta agar UNHCR melaksanakan berbagai fungsi yang telah ditetapkan oleh Konvensi Pengurangan Keadaan Tanpa Kewarganegaraan.

Pada 2006, telah didirikan unit statelessness di Jenewa dan setiap tahunnya terus mengalami peningkatan jumlah staf baik di kantor pusat maupun di lapangan. Guna menindaklanjuti evaluasi terhadap kinerja UNHCR, pada 2010, anggaran khusus bagi kasus statelessness meningkat dari yang awalnya sekitar 12 juta dolar AS (2009) menjadi 69,5 juta dolar AS pada 2015.

Kampanye UNHCR dalam mencegah dan mengurangi kasus statelessness telah mencapai beberapa keberhasilan, diantaranya mengurangi jumlah orang tanpa kewarganegaraan di semenanjung Krimea (orang Armenia, Tatar Krimea, Jerman, dan Yunani) yang dideportasi secara massal pada akhir Perang Dunia II, menaturalisasi pengungsi Tajik di Kyrgystan, dan kampanye yang membuat 300.00 orang Tamil mendapat kewarganegaraan Sri Lanka.

Pada awal 2006, UNHCR mencatat ada sekitar 11 juta orang statelessness di seluruh dunia. Pada akhir 2014, UNHCR memperkirakan ada peningkatan kasus statelessness dengan jumlah lebih dari 10 juta orang di seluruh dunia.  Penghintungan tersebut dihitung berdasarkan jumlah pengungsi yang tersebar di seluruh dunia, bukan sebagai orang tanpa kewarganegaraan guna menghindari penghitungan ganda.

Penyebab Statelessness

Jika dilihat dari sejarah kemunculan statelessness atau orang tanpa kewarganegaraan, ada sekitar 7 penyebab seseorang tidak memiliki status kewarganegaraan, diantaranya konflik hukum (undang-undang), gender, diskriminasi, suksesi negara, kendala administratif, penolakan, dan bangsa tanpa negara.

  • Diskriminasi

Sebagian besar kasus tanpa kewarganegaraan berskala besar, keadaan statelessness muncul akibat adanya dari diskriminasi. Sebagian besar negara mendefinisikan tubuh warga negara mereka berdasarkan etnis terbesar yang mendiami negara tersebut, sehingga terjadi marginalisasi kepada etnis minoritas dari kelompok besar.

  • Konflik Hukum

Salah satu penyebab seseorang terlahir tanpa identitas kewarganegaraan mana pun adalah karena adanya aturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan yang saling bertentangan antar negara. Terdapat dua cara yang biasanya digunakan untuk menentukan status kewarganegaraan, meski saat ini sudah banyak negara yang mengakui dan menerapkan kedua cara tersebut, yaitu ius soli dan ius sanguinis.

Ius Soli (law of the soil), merupakan asas yang secara terbatas menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara atau tempat kelahiran. Salah satu negara yang menerapkan asas ini adalah Amerika Serikat. Sementara Ius Sanguinis (law of blood), merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan garis keturunan.

 Dalam beberapa kasus, seseorang yang salah satu orang tuanya tidak memenuhi persyaratan asas ius sanguinis dapat menjadi orang statelessness (tanpa kewarganegaraan) jika lahir di negara yang tidak menganut asas ius soli.

  • Gender

Sebanyak 27 negara di dunia tidak mengizinkan warga negaranya yang perempuan untuk mewariskan kewarganegaraan kepada anak-anak mereka, meski banyak pula negara yang mengizinkan bayi yang baru lahir memperoleh kewarganegaraan melalui keturunan dari kedua orang tuanya terlepas di mana anak tersebut dilahirkan.

Aturan semacam ini tentu saja dapat mengakibatkan seseorang tidak berkewarganegaraan jika ayahnya juga tidak memiliki kewarganegaraan. Namun, sekitar tahun 2005 telah mulai dilakukan reformasi dalam undang-undang kewarganegaraan di beberapa negara terkait netralitas gender, seperti Maroko, Senegal, dan Aljazair.

  • Bangsa Tanpa Negara

Bangsa tanpa negara atau statelessness nation adalah istilah yang diciptakan pada 1983 oleh Jacques Lerues, ilmuwan politik, dalam bukunya L’Ecosse Une Nation Sans Etat yang berisikan tentang status aneh antara Skotlandia dan Inggris.

Sebutan ini digunakan untuk menyebut kelompok etnis atau bangsa yang tidak memiliki wilayah negaranya sendiri. Istilah tersebut menyiratkan makna bahwa kelompok tersebut harus memiliki negara berdaulat mereka sendiri.

  • Suksesi Negara

Dalam beberapa kasus, keadaan tanpa kewarganegaraan merupakan konsekuensi dari suksesi negara, yaitu ketika negara kebangsaan mereka tidak lagi ada atau ketika wilayah yang mereka tinggali berada di bawah kendali negara lain. Kasus seperti ini pernah terjadi pada 1991 ketika Uni Soviet bubar. Hal serupa juga pernah terjadi di Yugoslavia, Pakistan Timur, dan Ethiopia.

  • Penolakan

Keadaan tanpa kewarganegaraan dapat terjadi pada individu setelah mereka melepas kewarganegaraan mereka. Seperti yang terjadi pada Albert Einsten pada Januari 1896, saat itu ia berumur 16 tahun setelah dibebaskan dari kewarganegaraan Wurttemberg dengan bantuan ayahnya yang mengajukan sebuah petisi pembebasan kewarganegaraan. Lalu pada Februari 1901 permohonannya menjadi warga negara Swiss diterima.

Kebanyakan dari mereka yang menginginkan keadaan tanpa kewarganegaraan adalah orang-orang dengan paham Voluntaryst, Agorist, filsuf, atau berbagai paham politik dan keyakinan tertentu. Namun demikian, beberapa negara menolak adanya keinginan warganya yang ingin meninggalkan kewarganegaraan lamanya, kecuali jika mereka sudah memperoleh yang lain.

  • Kendala Administratif

Kendala dalam praktik administratif juga dapat menjadi sebab seseorang berada dalam keadaan tanpa kewarganegaraan, khususnya apabila mereka berasal dari kelompok atau etnis yang status kewarganegaraannya dipertanyakan. Kewarganegaraan mungkin adalah hak setiap individu, namun terkadang mereka dihadapkan pada langkah-langkah prosedural yang tidak dapat mereka lakukan.

Dalam beberapa kasus, mereka juga diharuskan membayar sejumlah biaya berlebih yang tidak seharusnya dibayarkan guna dokumentasi yang mampu membuktikan kewarganegaraan mereka dan memberikan dokumentasi yang tidak tersedia bagi mereka, atau guna memenuhi tenggat waktu yang dinilai tidak realistis, atau juga karena kendala geografis maupun literasi. Terutama ketika sedang dalam situasi konflik atau pasca-konflik, yang semakin memperparah prosedur administratif.

Upaya Pencegahan & Pengurangan Statelessness

Terdapat beberapa upaya yang dapat kita lakukan untuk mencegah dan mengurangi jumlah statelessness, di antaranya:

  • Menghapuskan segala bentuk diskriminasi dalam hukum kewarganegaraan.
  • Menciptakan kesadaran terhadap diri sendiri akan keadaan tanpa kewarganegaraan (statelessness) dan mengidentifikasi populasi tanpa kewarganegaraan (statelessness).
  • Membangun kapasitas administrasi yang efektif, fleksibel, dan mudah dijangkau untuk catatan sipil.
  • Melakukan pencatatan kelahiran universal dalam bentuk dokumentasi sipil dan lainnya.
  • Meningkatkan akses ke upaya naturalisasi atau kewarganegaraan.

Instrumen Hukum & Kelembagaan Statelessness

Dalam melakukan upaya pencegahan dan pengurangan statelessness, tentu juga harus didukung oleh badan organisasi yang menaungi situasi statelessness dan hukum-hukum yang mendasarinya.

Dasar Hukum Statelessness

Terdapat beberapa instrumen hukum internasional terkait dengan situasi statelessness, diantaranya:

  • Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Tahun 1948 Pasal 15.
  • Konvensi Tahun 1954 tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan.
  • Konvensi Tahun 1961 tentang Pengurangan Keadaan Tanpa Kewarganegaraan.
  • Kovenan Internasional Tahun 1966 tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 24.
  • Konvensi Tahun 1989 tentang Hak Anak Pasal 7.
  • Konvensi Eropa Tahun 1997 tentang Kebangsaan.

Organisasi

  • United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) awalnya memiliki tanggung jawab hanya pada orang-orang yang berada dalam situasi statelessness, namun kemudian diperluas setelah mengadopsi Konvensi 1954 tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan dan Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan Tanpa Kewarganegaraan.

Melalui Resolusi Majelis Umum 3274, UNHCR kini menjadi badan yang bertanggung jawab untuk memeriksa kasus orang-orang yang mengklaim manfaat dari konvensi 1961, dan membantu untuk menyampaikannya kepada otoritas nasional yang sesuai. UNHCR juga mendapatkan mandat global dari Majelis Umum PBB berupa kegiatan identifikasi, pencegahan, pengurangan dan perlindungan bagi orang-orang yang berada dalam situasi statelessness.

International Stateless Persons Organization (ISPO) didirikan pada Maret 2012 oleh Dr. Fernando Macolor Cruz, dosen sejarah dan ilmu politik Palawan State University, Filipina. ISPO merupakan organisasi internasional non-pemerintah yang memiliki misi untuk menjadi wakil kelembagaan bagi orang-orang yang berada dalam situasi statelessness di seluruh dunia melalui jaringan relawan praktisi hukum HAM yang bertindak sebagai perwakilan negara.

  • European Network in Statelessness

European Network in Statelessness merupakan salah satu aliansi masyarakat sipil yang pendiriannya memiliki tujuan untuk mengatasi sekitar 600.00 orang statelessness di Eropa. Selain itu, organisasi ini juga bertindak sebagai badan koordinasi dan sumber daya ahli untuk organisasi di seluruh Eropa yang bekerja terkait dengan situasi orang-orang statelessness.

  • Institute on Statelessness and Inclusion

Institute on Statelessness and Inclusion merupakan organisasi nirlaba independen yang didirikan untuk menampung tanggapan dan aduan terhadap situasi statelessness. Organisasi ini bekerja dengan berbagai kegiatan yang dimulai dari penelitian, analisis, pemberdayaan, advokasi, dan kesadaran secara global. Selain itu, Institute on Statelessness and Inclusion juga membuat dan menjaga forum online tentang situasi statelessness.

Kasus Statelessness

Berikut ada beberapa contoh kasus tanpa kewarganegaraan yang pernah terjadi di beberapa negara beserta konflik yang menyertainya.

Pada 2020, pemerintah Indonesia melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengeluarkan statement bahwa semua warga negara Indonesia yang pernah bergabung dengan Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL), secara otomatis akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia mereka, menyatakan bahwa para simpatisan ISIL merupakan orang statelessness.

Hal ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan Pasal 23 tentang Kewarganegaraan Indonesia yang berisi bahwa warga negara Indonesia dapat kehilangan kewarganegaraan mereka setelah melakukan beberapa kegiatan yang dilarang dalam peraturan perundangan, salah satunya adalah “bergabung dengan militer asing atau bersumpah setia kepada negara lain”.

  • Palestina

Pencaplokan wilayah Palestina oleh bangsa Yahudi telah mengakibatkan warga negara Palestina berada dalam situasi statelessness. Abbas Shiblak memperkirakan sekitar lebih dari separuh penduduk Palestina di dunia tidak memiliki kewarganegaraan. Bahkan, mereka yang berada di Lebanon dan Suriah secara konstitusional juga ditolah kewarganegaraannya.

Penawaran pemberian status kewarganegaraan Israel kepada penduduk Palestina setelah Perang Enam Hari pada 1967, yang berakibat pada pencaplokan Yerusalem Timur, ditolak oleh para pemimpin Arab.

Antara tahun 1967 dan 2007, sekitar 12.00 dari 250.000 penduduk Palestina di Yerusalem telah diberikan kewarganegaraan Israel. Meski mayoritas masih menolaknya, pada 2007, banyak penduduk Palestina yang mengajukan kewarganegaraan tersebut. Secara otomatis, mereka yang menolak merupakan orang tanpa kewarganegaraan.

fbWhatsappTwitterLinkedIn