8 Teori Media Pembelajaran dari Para Ahli

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Banyak hal yang penting dalam proses pembelajaran, salah satunya adalah media pembelajaran. Pentingnya media pembelajaran bisa dikatakan berbanding lurus dengan metode pembelajaran. Penyampaian metode pembelajaran dalam sebuah kegiatan belajar mengajar mungkin akan terkendala tanpa adanya media pembelajaran. Media pembelajaran dapat lebih memudahkan seseorang atau pelajar dalam memahami suatu hal yang sedang dipelajari.

Apabila yang digunakan media pembelajaran dengan karakteristik yang baik, maka akan dapat memotivasi para pelajarnya, serta juga menghindarkan dari kejenuhan saat mempelajari sesuatu. Proses belajar mengajar pun akan lebih sistematis. Karakteristik media pembelajaran yang baik akan memberikan pengaruh atau dampak baik pula pada proses belajar mengajar yang dilakukan.

Pengaruh dari media pembelajaran telah dikaji oleh para ahli sejak awal abad 20. Hal yang menandakannya adalah adanya usulan penggunaan gambar sebagai alat peraga atau alat instruksi. Usulan ini diberikan oleh Edward L. Thorndike yang merupakan penggagas dari teori connectionism. Hasil dari kajian-kajian terhadap media pembelajaran tersebut kemudian dituangkan ke dalam teori media pembelajaran. 

Teori media pembelajaran terbagi menjadi beberapa teori. Berikut adalah 8 teori media pembelajaran menurut para ahli beserta penjelasannya:

1. Teori Symbol Systems

G. Salomon pada tahun 1977 pertama kali memperkenalkan sebuah gagasan yang disebut teori sistem simbol. Teori ini merupakan sebuah teori yang difungsikan untuk mengetahui pengaruh dari media pembelajaran yang digunakan terhadap proses pembelajaran. 

Menurut Salomon setiap media mampu menyampaikan isi melalui sistem simbol tertentu. Salomon juga menyatakan bahwa efektivitas sebuah media ini berdasarkan pada kesesuaian peserta didik atau pelajar, isi pembelajaran, serta tugas-tugasnya.

2. Teori Cognitive Flexibility

Teori fleksibilitas kognitif dikembangkan oleh R. Spiro, P. Feltovitch, dan R. Coulson pada tahun 1990. Teori ini menitikberatkan pada sifat pembelajaran dalam lingkup yang luas atau kompleks, serta tidak terstruktur.

Penegasan dari teori ini menyatakan bahwa sebuah pembelajaran yang efektif bergantung pada konteks, serta menekankan bahwa pengetahuan yang dibangun itu sangat penting. Oleh karenanya peserta didik perlu mengembangkan representasi informasi mereka sendiri agar dapat belajar dengan baik.

Teori ini berkaitan dengan teori sistem simbol dalam hal media serta interaksi pembelajaran. Juga berakar pada teori konstruktivisme.

3. Teori Conditions of Learning

R. Gagne adalah yang mengemukakan teori kondisi pembelajaran. Ia berpendapat bahwa terdapat berbagai jenis atau tingkatan yang berbeda pada pembelajaran. Dimana setiap tingkatan pembelajaran membutuhkan instruksi yang berbeda dari tingkatan lainnya.

Terdapat 5 jenis tingkatan pembelajaran yang diidentifikasikan oleh R. Gagne, yaitu informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, keterampilan motorik, dan sikap. Perbedaan dari kondisi eksternal dengan internal merupakan hal yang terpenting untuk setiap jenis pembelajaran. 

Penerapan dari teori kondisi pembelajaran ini telah diterapkan dalam pelatihan militer. Teori ini juga ditujukan sebagai penggambaran peran teknologi instruksional dalam pembelajaran.

4. Teori E-Learning

Teori E-Learning memberikan penggambaran bahwa prinsip-prinsip ilmu kognitif pembelajaran multimedia yang efektif menggunakan teknologi pendidikan elektronik. Dari hasil penelitian serta teori kognitif telah menunjukkan bahwa pemilihan modalitas multimedia yang sesuai dengan cara bersamaan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. 

Teori ini sebenarnya merupakan sebuah teori pengembangan dari teori cognitive load yang telah dikembangkan oleh J. Sweller. 

5. Teori Cognitive Load

J. Sweller dengan teori Cognitive Load atau teori beban kognitif mengemukakan bahwa, pembelajaran yang paling baik akan terjadi saat kondisi selaras dengan arsitektur kognitif manusia yang dapat diketahui melalui hasil penelitian eksperimental.

Teori ini menekankan terhadap penggunaan teknik-teknik pembelajaran untuk mengurangi beban kerja memori yang berperan untuk memberikan fasilitas perubahan di dalam memori untuk jangka waktu yang panjang, dimana berkaitan dengan akuisisi skema.

6. Teori Cognitive Dissonance

Terdapatnya kecenderungan individu guna mencari konsistensi di antara kognisi mereka adalah pernyataan dari teori disonansi kognitif, yang merupakan salah satu dari teori efek media massa.

Apabila terdapat inkonsistensi antara sifat atau perilaku maka harus ada sesuatu yang diubah demi mengurangi disonansi. Jika terjadi kasus dimana ada kesenjangan antara sikap dan perilaku, maka individu akan lebih cenderung merubah sikap demi mengakomodasi perilaku.

7. Teori Situated Learning

Teori situated learning dikemukakan oleh J. Lave yang berpendapat bahwa pembelajaran yang terjadi merupakan fungsi dari bermacam kegiatan, konteks, serta budaya di mana pembelajaran tersebut terjadi.

Interaksi sosial merupakan hal yang penting dalam pembelajaran bersituasi yang mana peserta didik atau pelajar ikut andil dalam komunitas praktek yang merupakan sebuah perwujudan dari keyakinan tertentu serta perilaku tertentu yang akan diakuisisi. Hal ini tentu tidak sama dengan kegiatan yang dilakukan di dalam kelas.

Penerapan teori ini dalam konteks kegiatan pembelajaran yang berbasis teknologi di sekolah yang menekankan pada keterampilan untuk memecahkan masalah. Hal ini sangat positif bagi kegiatan belajar mengajar. Sebab, peserta didik atau pelajar dapat dilatih berpikir kritis serta dituntut untuk cepat dalam mengambil keputusan yang tepat.

8. Teori Information Pick Up

J. Gibson merupakan penggagas dari teori information pick up. Ia berpendapat bahwa persepsi sepenuhnya bergantung dari informasi yang berada dalam sebuah rangkaian stimulus, bukan berada pada pengaruh sensasi dari kognisi.

Gibson menyatakan bahwa persepsi adalah sebuah konsekuensi langsung dari sifat lingkungan dan tidak terlibat sebagai bentuk pemrosesan sensoris. Sebagian besar teori ini dikembangkan untuk sistem visual. Selanjutnya Gibson mengemukakan bahasan tentang implikasi teori guna meneliti gambar bergerak serta gambar tidak bergerak.

fbWhatsappTwitterLinkedIn