Hukum di Indonesia didasarkan pada sistem hukum kontinental, yang mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, dan kebijakan. Hukum tersebut memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, politik, dan sosial.
Hukum memiliki peran dalam menjaga ketertiban, melindungi hak asasi, dan memberikan dasar bagi keadilan di masyarakat. Pelanggaran hukum dapat mengakibatkan sanksi hukum, yang mencerminkan pentingnya sistem hukum dalam mengatur perilaku dan interaksi di Indonesia.
Secara umum, hukum dibagi menjadi dua yaitu hukum formil dan materil. Hukum formil, juga dikenal sebagai hukum acara, adalah bagian dari sistem hukum yang menetapkan prosedur yang harus diikuti dalam penegakan hukum.
Hal itu mencakup aturan-aturan tentang bagaimana kasus hukum harus diajukan, diperiksa, dan diputuskan di pengadilan. Hukum formil membantu memastikan bahwa proses hukum berjalan dengan tertib dan adil, memberikan pedoman untuk tindakan hukum dan menjamin hak setiap pihak yang terlibat dalam suatu kasus.
Sedangkan hukum materil, atau hukum substansial, adalah aspek dari sistem hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi hukum itu sendiri serta menetapkan norma dan aturan substantif yang mengatur hak, kewajiban, dan hubungan hukum antara individu atau entitas.
Hukum materil membahas substansi dari peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban, sebaliknya dengan hukum formil yang berkaitan dengan prosedur dan administrasi penegakan hukum. Dengan kata lain, hukum materilmenentukan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan, sementara hukum formil menentukan cara melaksanakannya.
Berikut perbedaan dari Hukum Formil dan Materil Berdasarkan Sumber Hukumnya
Sumber hukum materil merujuk pada aspek substansial hukum, yang melibatkan isinya. Contohnya, KUHP mengatur pidana umum, kejahatan, dan pelanggaran, sementara KUHPerdata mengatur subjek hukum, objek, perikatan, perjanjian, pembuktian, dan daluarsa.
Sumber hukum materil berasal dari berbagai faktor masyarakat seperti perasaan hukum, kondisi sosial-ekonomi, hasil penelitian ilmiah, filsafat tradisi, agama, moral, perkembangan internasional, geografis, politik hukum, dan lainnya.
Kemudian, sumber hukum materil juga merupakan faktor-faktor masyarakat yang memengaruhi pembentukan isi suatu peraturan atau kaidah hukum yang mengikat setiap orang.
Faktor-faktor seperti :
Pengaruh tersebut dapat dirasakan dalam keputusan hakim dan dalam dinamika pembuat kebijakan hukum. Dengan demikian, sumber hukum materil mencerminkan realitas dan kebutuhan masyarakat yang menjadi dasar bagi norma-norma hukum yang berlaku.
Sumber hukum materil memang merupakan faktor yang memengaruhi substansi atau materi dari aturan hukum. Faktor-faktor tesebut dapat bersifat idiil, terkait dengan pemahaman nilai dan prinsip dalam masyarakat, serta kemasyarakatan.
Faktor tersebut mencerminkan dinamika dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Maka, sumber hukum materil memainkan peran penting dalam membentuk hukum yang mendidik dan sesuai dengan tuntutan masyarakat pada waktu tertentu.
1. Faktor idiil
Faktor idiil mengacu pada aspek-aspek yang terkait dengan nilai-nilai, prinsip, atau keyakinan dalam masyarakat. Ini mencakup pandangan moral, filosofis, atau idealistik yang dapat memengaruhi pembentukan hukum.
Faktor idiil dapat melibatkan pemahaman tentang keadilan, kebenaran, dan nilai-nilai masyarakat yang mendukung pembentukan norma-norma hukum. Dalam konteks hukum, faktor idiil dapat mencakup pertimbangan etika dan moral yang menjadi dasar bagi peraturan hukum yang dihasilkan.
2. Faktor kemasyarakatan
Faktor kemasyarakatan adalah unsur-unsur dalam masyarakat yang berkontribusi pada pembentukan norma-norma hukum. Faktor-faktor kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum melibatkan elemen-elemen yang secara langsung berinteraksi dengan kehidupan masyarakat.
Beberapa contohnya adalah sebagai berikut.
Struktur ekonomi dapat memicu kebutuhan untuk mengatur perpajakan. Undang-undang perpajakan dapat dirancang untuk menyesuaikan dengan karakteristik ekonomi seperti jenis usaha, transaksi ekonomi, dan distribusi kekayaan.
Hukum materil dapat melibatkan regulasi sektor usaha untuk melindungi konsumen, mencegah monopoli, atau mengatur persaingan. Struktur ekonomi yang berubah bisa memicu perlunya penyesuaian dalam regulasi tersebut.
Kemudian, apabila terjadi krisis ekonomi atau perubahan struktur bisnis, hukum kepailitan dapat diadopsi untuk mengatur proses pembubaran usaha, pembagian aset, dan perlindungan hak para pihak terkait. Selain itu, struktur ekonomi yang berkembang bisa mendorong adopsi hukum materil untuk melindungi konsumen, seperti ketentuan tentang kualitas produk, hak konsumen, dan tanggung jawab produsen.
Kebiasaan dan adat istiadat biasanya menciptakan norma-norma yang diterima oleh masyarakat, meskipun tidak selalu terdokumentasikan dalam bentuk peraturan tertulis. Norma-norma tersebut dapat memengaruhi pembentukan hukum materil serta mengatur hubungan antarindividu dan kelompok dalam masyarakat.
Prinsip-prinsip itu dapat menjadi dasar bagi hukum materil yang mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab. Beberapa masyarakat memiliki sistem hukum adat yang bersumber dari kebiasaan dan adat istiadat mereka.
Hukum adat itu mencakup aturan-aturan yang diterapkan secara tradisional dan mungkin menjadi sumber hukum materil yang signifikan. Hukum materil dapat mencerminkan upaya untuk melindungi hak tradisional yang diakui dalam kebiasaan dan adat istiadat suatu masyarakat, termasuk hak tanah adat, hak kelompok tertentu, atau hak-hak budaya.
Struktur sosial memengaruhi norma-norma hukum keluarga, termasuk aturan terkait pernikahan, perceraian, hak asuh anak, dan warisan. Nilai-nilai dan norma dalam struktur sosial membentuk dasar hukum materil dalam konteksnya.
Kemudian, struktur sosial yang mencakup lapisan sosial, kelas ekonomi, dan kelompok rentan dapat menjadi dasar bagi pembentukan hukum materil terkait kesejahteraan sosial, perlindungan pekerja, atau dukungan bagi kelompok yang membutuhkan.
Serta dapat menciptakan hukum materil yang melibatkan hak-hak khusus bagi kelompok tertentu, seperti hak-hak minoritas, pekerja migran, atau kelompok etnis tertentu. Struktur sosial yang menciptakan ketidaksetaraan atau diskriminasi dapat menjadi dasar bagi pembentukan hukum materil yang bertujuan untuk mengatasi ketidaksetaraan dan melindungi hak-hak individu atau kelompok yang rentan.
Pola pikir masyarakat terhadap konsep keadilan dan kebenaran dapat memengaruhi pembentukan hukum materil. Hukum tersebut mencerminkan pandangan masyarakat mengenai apa yang dianggap adil dan benar dalam situasi tertentu.
Pandangan dan pemahaman masyarakat terhadap hak asasi manusia memainkan peran penting dalam membentuk hukum materil. Hukum tersebut mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai yang dipegang masyarakat terkait dengan hak-hak individu.
Perubahan dalam pola pikir masyarakat terhadap perkembangan sosial dan teknologi dapat memicu kebutuhan untuk peraturan hukum baru atau penyesuaian terhadap perubahan tersebut. Selain itu, pola pikir masyarakat yang diwarnai oleh budaya dan tradisi dapat membentuk hukum materil yang mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi dalam konteks budaya
Perkembangan teknologi dan pengetahuan baru dapat memunculkan perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum materil dapat diperlukan untuk mengatur penggunaan teknologi, hak cipta, privasi, dan isu-isu terkait.
Ketika nilai dan norma masyarakat berubah seiring waktu, hukum materil dapat beradaptasi untuk mencerminkan pandangan baru dan mengakomodasi perubahan dalam moralitas, etika, dan pandangan keadilan.
Tuntutan untuk menanggapi isu-isu kesejahteraan sosial, seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, atau lingkungan, juga dapat memotivasi pembentukan hukum materil baru yang lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat.
Kemudian, integrasi global dapat membawa tantangan baru yang memerlukan regulasi dan hukum materil untuk menanggapi perubahan dalam hubungan internasional, perdagangan, dan kehidupan global secara keseluruhan.
Semua faktor tersebut bersama-sama membentuk konteks sosial yang menciptakan landasan bagi pembentukan hukum yang relevan dan responsif terhadap kebutuhan serta dinamika masyarakat.
Sumber hukum formil adalah segala sesuatu yang menjadi dasar bagi pembentukan, perubahan, atau penghapusan norma hukum yang berkaitan dengan tata cara atau prosedur perundang-undangan. Sumber hukum formil melibatkan dokumen tertulis yang secara resmi diakui sebagai dasar hukum.
Serta memberikan landasan legal dan tata cara dalam sistem hukum untuk menciptakan, mengubah, dan mencabut norma hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Legalisasi mencerminkan fungsi hukum sebagai alat untuk mengakui dan mengesahkan norma-norma atau kebiasaan yang sudah ada dalam masyarakat.
Sementara itu, legislasi merujuk pada upaya pembuatan atau pembaruan hukum melalui proses legislasi, termasuk dalam konteks hukum acara pidana, yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu dalam sistem hukum. Keputusan atau aturan yang dikeluarkan oleh kepala negara atau presiden untuk mengatur hal-hal tertentu.
Struktur sosial mencakup aspek-aspek dasar yang membentuk eksistensi masyarakat, sedangkan sistem nilai-nilai mencakup pandangan mengenai baik dan buruk yang harus selaras dalam peraturan perundang-undangan.
Faktor yang menjadi sumber hukum formil adalah sumber hukum yang memiliki bentuk tertentu dan menjadi dasar sah serta berlakunya hukum secara formal. Sumber-sumber hukum formil tersebut memiliki kekuatan yang dilihat dari bentuknya.
Dan hukum tersebut mengikat baik warga masyarakat maupun para pelaksana hukum (penegak hukum) itu sendiri. Sumber hukum formil yang diketahui di dalam ilmu hukum berasal dari enam jenis, diantaranya :
1. Undang-undang
Undang-Undang, atau Peraturan Perundang-undangan, adalah aturan hukum yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. Undang-Undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat.
Hal itu, berfungsi untuk memberikan kerangka hukum yang mengatur perilaku masyarakat, lembaga pemerintah, dan pihak terkait lainnya. Kemudian, Undang-Undang membantu konsolidasi posisi politik dan hukum suatu negara.
Selsin itu menciptakan dasar hukum yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan dan mengatur hubungan antarindividu dalam masyarakat. Undang-Undang juga dapat dianggap sebagai kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah serta mencakup batasan dan pembagian kekuasaan antar lembaga pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan dan menjaga keseimbangan.
2. Hukum Kebiasaan
Hukum kebiasaan berkembang dari praktik-praktik yang secara konsisten diulang dalam masyarakat yang meliputi kebiasaan dalam perilaku, aturan sosial, atau norma tertentu yang dijalankan secara berulang. Untuk dianggap sebagai hukum, praktek tersebut harus diakui oleh masyarakat sebagai aturan yang berlaku.
Pengakuan tersebut bisa bersifat formal atau informal, tetapi esensinya adalah adanya kesepakatan atau penerimaan di antara anggota masyarakat. Hukum kebiasaan umumnya bersifat tidak tertulis dan bukan hasil dari proses legislasi formal.
Meskipun demikian, norma-norma ini memiliki kekuatan hukum dan dapat memberikan landasan bagi penyelesaian sengketa atau pengaturan kehidupan masyarakat. Kemudian, dalam beberapa sistem hukum, hukum kebiasaan dapat bersifat komplementer dengan hukum tertulis. Keduanya saling melengkapi untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih lengkap.
3. Traktat
Traktat adalah bentuk perjanjian yang melibatkan dua atau lebih negara. Tujuan traktat dapat bervariasi, mencakup perdamaian, kerja sama ekonomi, perlindungan lingkungan, hak asasi manusia, dan banyak lagi. Traktat dapat mengatur kerjasama ekonomi antarnegara, seperti perjanjian perdagangan bebas atau perjanjian investasi. Hal itu dapat menciptakan kerangka kerja untuk pertukaran barang, jasa, dan investasi.
Traktat memiliki bentuk tertentu yang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat yang dapat berupa dokumen tertulis yang berisi ketentuan-ketentuan, komitmen, atau kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap negara pihak.
UU traktat seringkali memuat persyaratan untuk memberitahukan traktat yang diusulkan kepada publik atau lembaga-lembaga tertentu sebelum pengesahan. Hal itu dapat mencakup pemberitahuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan.
Traktat memiliki peran penting dalam hubungan internasional, membantu negara-negara untuk mengatur dan menjalankan kerjasama di berbagai bidang. Proses pembuatan dan persetujuan traktat yang melibatkan Presiden dan DPR mencerminkan proses demokratis dalam menetapkan kebijakan luar negeri.
Selain itu traktat harus memastikan bahwa traktat yang diakui tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi Indonesia. Apabila terjadi konflik, traktat tersebut dapat memerlukan revisi konstitusi atau persetujuan konstitusional.
Yurisprudensi mencerminkan bagaimana keputusan hakim terdahulu dijadikan sebagai sumber hukum. Yurisprudensi dapat membantu dalam membentuk hukum baru atau menginterpretasikan peraturan perundang-undangan yang belum memadai.
Hakim dapat menciptakan prinsip-prinsip hukum materil yang menjadi acuan untuk kasus-kasus serupa di masa mendatang. Selain itu, yurisprudensi memiliki peran khusus dalam sistem hukum umum, di mana keputusan hakim memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dan dapat dijadikan dasar untuk memutuskan kasus serupa serta keputusan-keputusan dalam yurisprudensi sering menjadi bahan kritik dan diskusi dalam masyarakat hukum. Hal itu akan memperkaya pemahaman tentang hukum materil dan membuka ruang untuk refleksi dan perdebatan.
5. Doktrin
Doktrin mencakup pandangan dan analisis dari ahli hukum serta cendekiawan hukum yang memiliki pengaruh dalam bidang tertentu, yang dapat mengembangkan konsep-konsep hukum baru atau menyajikan interpretasi yang mendalam terhadap hukum materil.
Doktrin juga dapat membentuk teori hukum yang kemudian diakui sebagai pandangan atau pendekatan yang berpengaruh dalam suatu bidang hukum tertentu. Teorinya dapat memengaruhi cara hukum materil diinterpretasikan dan diterapkan.
Maka dari itu, doktrin dapat memiliki pengaruh besar dalam pembentukan kebijakan hukum. Pemikiran dan teori-teori yang berkembang melalui doktrin dapat mempengaruhi pembuat kebijakan hukum dan proses reformasi hukum.
6. Hukum Agama
Hukum Agama berasal dari ajaran dan prinsip-prinsip keagamaan tertentu. Setiap agama memiliki kitab suci, ajaran, atau tradisi hukum yang mengandung norma-norma hukum yang dianggap mengikat bagi penganutnya.
Hukum Agama tidak hanya mencakup aturan hukum formal, tetapi juga memberikan pedoman etika dan moral. Prinsip-prinsip keagamaan sering kali membimbing perilaku penganutnya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam konteks hukum.
Selain itu, sering diinterpretasikan dan diterapkan oleh otoritas keagamaan, seperti ulama, pendeta, atau tokoh agama lainnya. Para tokoh tersebut memiliki peran dalam menjelaskan dan memberikan panduan terkait hukum agama kepada penganutnya.
Setiap agama memiliki hukum agama yang berbeda, dan terdapat variasi signifikan antar agama. Misalnya, Hukum Islam (Syariah) memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dari Hukum Yahudi atau Hukum Kanonik Kristen.