5 Tokoh yang Terlibat dalam Perjanjian Renville

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Perjanjian Renville merupakan perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Nama perjanjian ini diambil dari tempat dilaksanakannya perjanjian yakni di atas geladak kapal USS Renville milik Amerika Serikat.

Perjanjian Renville ditengahi oleh sebuah Komisi bernama Komisi Tiga Negara yang tertidur dari Belgia, Australia dan Amerika Serikat. KTN sendiri adalah sebuah badan arbitrase yang berada di bawah Persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB dan memiliki tugas untuk mengawasi gencatan senjata dan menyelesaikan masalah yang terjadi antara Indonesia dan Belanda.

Kemudian, pada tanggal 1 Agustus 1947, dewan keamanan PBB memerintahkan keduanya untuk menghentikan serangan. Belanda dan Indonesia pun merespon ultimatum yang diberikan PBB dengan mengumumkan gencatan senjata dan berakhirnya agresi militer pertama pada tanggal 4 Agustus 1947.

Agresi militer pertama yang dilakukan Belanda sebenarnya buah dari kesalahpahaman mengenai penafsiran hasil perundingan Linggarjati. Belanda menafsirkan bahwa keberadaan Uni Indonesia Belanda sebagai bentuk kekuasaan Indonesia berada di bawah pemerintahan Belanda. Sementara itu, Indonesia menafsirkan keberadaan Uni Indonesia Belanda ditafsirkan sebagai bentuk hubungan kerja sama bilateral.

Perjanjian Renville dilakukan pada tanggal 8 Desember 1947 dengan diwakili oleh masing-masing negara. Delegasi dari Indonesia diwakilkan oleh Amir Syarifuddin, Ali Sastroamidjojo, Haji Agus Salim, Dr. Johannes Leimena. Sedangkan dari Belanda diwakilkan oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo.

Hasil Perjanjian Renville membuat Indonesia semakin dirugikan terutama dari segi wilayah. Wilayah Indonesia semakin sempit dibandingkan dari hasil perjanjian Linggarjati. Meskipun, hasil ini sudah diduga sebelumnya. Namun, perjanjian renville harus tetap dilaksanakan dari pada terjadi agresi militer yang kedua dan menyebabkan banyak kerugian dan korban jiwa.

Berikut ini para tokoh yang terlibat dari perjanjian renville baik dari Indonesia dan Belanda.

1. Mr. Amir Syarifuddin Harahap

Mr Amir Syarifuddin Harahap, Tokoh Perjanjian Renville

Mr Amir Syarifuddin Harahap merupakan ketua delegasi Indonesia pada perjanjian Renville. Ia berasal dari keluarga bangsawan. Kakeknya adalah seorang Jaksa di Tapanuli, begitupun dengan ayahnya yang juga seorang Jaksa di Medan. Sejak lahir Amir berada dalam lingkungan keluarga intelektual.

Hal inilah membuat dirinya dapat mengenyam pendidikan di sekolah elit. Ia pernah belajar di ELS yang ada di Medan. Kemudian ia juga diangkat menjadi anggota Volksraad dan belajar di kota Leiden. Setelahnya, ia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem. Selama masa kuliah, Amir begitu aktif melakukan diskusi dengan kelompok Kristen.

Saat invasi Jepang ke Hindia Belanda Amir berusaha menggalang aliansi dengan kekuatan kapitalis untuk menghancurkan fasisme. Sayangnya rencana ini tidak mendapatkan banyak sambutan. Beberapa rekan aktivisnya masih belum mempercayai kembali Amir Syarifuddin paska polemik yang terjadi pada awal tahun dan tidak paham terkait strategi melawan Jepang.

Para rekan aktivisnya justru ingin menerapkan taktik lain yakni dengan melakukan kolaborasi bersama Jepang dengan harapan Jepang dapat memberikan kemerdekaan Indonesia setelah penjajahan Belanda. Pada bulan Januari 1943, di tengah gelombang penangkapan, Amir berhasil ditangkap. Ia ditangkap karena gerakan anti fasismenya.

Meskipun Amir Syarifuddin terkenal dengan gerakan komunisnya, namun saat perjanjian yang melibatkan Indonesia dan Belanda, ia dipercaya menjadi seorang ketua. Pada perjanjian renville, ia dipercaya menjadi seorang negosiator utama bagi delegasi Indonesia. Sayangnya, negoisasi Amir tak membuahkan hasil. Hasil Perjanjian Renville membuat posisi Indonesia semakin terdesak.

Wilayah Indonesia hanya sebatas Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera. Selain itu, Belanda melakukan Blokade ekonomi yang dan bentuk Indonesia berubah menjadi republik Indonesia Serikat. Setelah adanya hasil perjanjian renville, kabinet Amir Syarifuddin lengser karena dianggap telah menjual negara kepada pihak Belanda.

2. Ali Sastroamidjojo

Ali Sastroamidjojo, Tokoh Perjanjian Renville

Ali Sastroamidjojo menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia pada perjanjian Renville. Sosok yang lahir di Grabag ini memiliki nama lengkap Raden Ali Sastroamidjojo. Ia lahir pada tanggal 1903 dan berasal dari keluarga bangsawan Magelang.

Sama seperti para pemuda yang lahir dari keluarga bangsawan lainnya, Ali pun merasakan pendidikan di sekolah elit milik Belanda seperti Queen Wilhelmina School dan Universitas Leiden di Belanda. Di Universitas Leiden, Ali mendapatkan gelar sarjana hukum.

Selama bersekolah, Ali aktif dalam berorganisasi pemuda. Ia pernah mengikuti organisasi Jong Java dan Perhimpoenan Indonesia. Oleh sebab inilah, Belanda menangkapnya bersama para tokoh lain seperti Mohammad Hatta, Nazir Datuk Pamuncak dan Abdul Majid Djojoadiningrat. Kemudian setelah enam bulan berada di penjara, ia dibebaskan dan kembali ke Jawa.

Setelah perang dunia kedua, Ali melanjutkan aktivitas politiknya. Pada kabinet Amir Syarifuddin 1 dan kabinet Hatta, ia pernah menjabat sebagai Menteri Pengajaran. Selain itu, pada perjanjian Renville, ia didaulat sebagai wakil ketua mendampingi Mr Amir Syarifuddin menjadi delegasi Indonesia.

Selain itu, ia juga didaulat menjadi delegasi Indonesia pada perundingan konferensi Meja Bundar. Setelah kedaulatan Indonesia, ia diangkat menjadi duta besar Indonesia untuk Kanada, Meksiko dan Amerika Seikat. Tidak hanya itu, ia pun pernah menjabat sebagai Ketua Umum Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung. Pada tahun 1957, ia juga menjabat sebagai wakil tetap Indonesian di PBB.

3. Haji Agus Salim

Haji Agus Salim, Tokoh Perjanjian Renville

Haji Agus Salim merupakan anggota delegasi Indonesia dalam perjanjian Renville. Sosok yang lahir pada tanggal 8 Oktober 1884 ini berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya adalah seorang jaksa pada masa pemerintahan Kolonial Belanda.

Lewat jabatan ayahnya, ia dapat mengenyam pendidikan elit pada saat itu. Ia pernah belajar di ELS dan Hoogere Burger School (HBS) di Batavia. Meskipun, ia bersekolah di sekolah elit Belanda, namun haji Agus Salim dapat membuktikan bahwa dirinya layak bersekilah di sana dengan menjadi lulusan terbaik mengalahkan para pelajar Eropa lainnya.

Sayangnya, saat ia mengajukan beasiswa untuk meneruskan pendidikannya di Netherlands, ia ditolak oleh pemerintahan Belanda . Akhirnya, ia memilih Arab Saudi dan bekerja sebagai konsultan Belanda di sana. Haji Agus Salim merupakan pejuang kemerdekaan yang cerdas dan gigih. Ia sudah berkecimpung dalam politik dengan bergabung bersama Sarekat Islam.

Selain itu, ia juga pernah menjadi pemimpin Redaksi Nerajta. Kedudukannya dimanfaatkan untuk membuat opini mengenai pergerakan dan perjuangan agar rakyat berani melawan Belanda. Haji Agus Salim juga merupakan anggota Volksraad atau dewan rakyat.

Forum tersebut digunakan untuk meraih jalan kemerdekaan oleh para pejuang. Haji Agus Salim pernah bergabung dengan Jong Islamieten Bond. Organisasi tersebut memiliki peran untuk meningkatkan nasionalisme kebangsaan dan perjuangan rakyat meraih kemerdekaan. Sayangnya, organisasi ini tidak berlangsung lama karena dibekukan pemerintah Jepang.

Tidak berhenti sampai di situ, Haji Agus Salim kemudian bergabung dengan BPUPKI. Di sana ia mencari celah untuk dapat bebas dari belenggu penjajahan. Haji Agus Salim benar-benar berjuang untuk kemerdekaan.

Setelah Indonesia merdeka, ia mendapatkan mandat sebagai menteri luar negeri. Pada masa ketegangan Indonesia dan Belanda, Haji Agus Salim masih berada di barisan terdepan. Ia menjadi wakil Indonesia dalam perjanjian renville.

Ia dengan berani mendebat pernyataan perwakilan Belanda yang mengatakan bahwa Indonesia telah berkhianat atas nota kesepahaman Perjanjian Linggarjati. Sayangnya, perjuangan Haji Agus Salim tidak berbuah manis. Indonesia tetap dirugikan atas perjanjian tersebut.

4. Dr. Johannes Leimena

Dr Leimena, Tokoh Perjanjian Renville

Dr Johannes Leimena merupakan sosok pejuang yang berasal dari Ambon, Maluku. Leimena lahir pada tanggal 6 Maret 1905. Leimena merupakan seorang dokter, politisi, diplomat dan pahlawan Indonesia. Ia dibesarkan dari keluarga yang beragama Kristen dan memiliki profesi sebagai seorang guru.

Saat usianya masih kecil ia pindah ke Cimahi dan Batavia untuk melanjutkan pendidikannya. Dr Johannes Leimena turut terlibat dalam beberapa organisasi kepemudaan seperti Jong Ambon. Ia juga menjadi panitia dalam kongres pemuda pertama dan kedua.

Setelah lulus dari STOVIA, ia mendedikasikan diri dengan bekerja di berbagai rumah sakit baik di Batavia maupun Bandung. Saat masa kependudukan Jepang, ia menjabat sebagai direktur rumah sakit yang ada di Purwakarta dan Tangerang.

Pada masa revolusi nasional, Leimena menjabat sebagai wakil menteri kesehatan lalu kemudian naik menjadi menteri kesehatan. Saat menjabat sebagi menteri kesehatan, Leimena memprioritaskan pencegahan penyakit yang ada di pedesaan.

Ia juga membuat sebuah sistem di puskemas. Selain itu, ia juga kerap menjadi seorang diplomat dalam perjanjian yang diadakan Indonesia dengan negara penjajah. Seperti perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Roijen, dan Konferensi Meja Bundar.

Pada konferensi renville, Leimena bersama Amir, Ali dan Agus Salim menjadi delegasi Indonesia. Di sana mereka memperjuangkan hak Indonesia yang telah dilanggar Belanda dalam perjanjian Linggy. Sayangnya, Belanda begitu licik dengan memutar balikkan fakta.

Belanda mengatakan bahwa Indonesia telah mengkhianati hasil perjanjian Linggarjati. Salah satu poin yang disasar adalah mengenai Uni Indonesia Belanda. Hasilnya, Indonesia mengalami kekalahan pada perjanjian tersebut dan dirugikan.

5. Abdul Kadir Widjojoatmojo

Abdul Kadir Widjojoatmojo, Tokoh Perjanjian Renville

Abdul Kadir Widjojoatmojo merupakan delegasi Belanda dalam perjanjian Renville. Ia pernah bersekolah di sekolah milik Belanda dan mengikuti pelatihan di Universitas Leiden. Pada tahun 1919, ia menjabat sebagai sekretaris kedutaan besar Belanda yang ada di Jeddah.

Kemudian pada tahun 1932, ia juga pernah menjadi seorang wakil Konsul di Mekkah. Abdul Kadri memang secara rekam jejak banyak bekerja dengan Belanda. Berbagai jabatan pernah diamanahkan kepadanya. Maka tak heran, jika pada perjanjian Renville ia diberikan mandat sebagai delegasi yang mewakili Belanda.

Pada perjanjian Renville, Abdul Akdir menjabat sebagai ketua delegasi Belanda. Di sana ia yang menjadi perwakilan Belanda untuk menandatangani perjanjian renville. Perjanjian yang semula berasalh dari kesalahpahaman penafsiran ini, membawa Belanda pada kemenangan.

Lewat perjanjian renville, Belanda berhasil mendapatkan wilayah yang lebih banyak. Selain itu, Belanda juga melakukan blokade ekonomi kepada Indonesia. Dampak adanya perjanjian renville begitu dirasakan Indonesia. Indonesia harus menarik pasukannya dari wilayah yang telah ditetapkan menjadi milik Belanda.

Selain itu, Beland juga membuat negara-negara boneka seperti negara Borneo barat, negara Madura, negara Sumatera Timur, dan negara Jawa Timur. Pembentukan negara boneka ini bertujuan untuk memecah belah Indonesia.

Setelah perjanjian renville kedudukan Belanda semakin juar. Pada bulan Maret 1948 di Jakarta, Belanda membentuk pemerintah federal sementara. Di mana, Van Nick diangkat menjadi presidennya. Pembentukan pemerintah federal ini tentu saja merugikan Indonesia dan dapat memecah belah persatuan.

Selain itu, Belanda semakin menambah banyak negara-negara boneka di daerah yang dikuasainya. Pembentukan negara boneka bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia tidak ada apa-apanya karena memiliki wilayah yang sempit.

Belanda juga membentuk daerah-daerah otonomi. Lewat tindakan Belanda ini sebenarnya seolah menegaskan meskipun Indonesia telah merdeka namun hal itu tidak berpengaruh apa-apa kepada Belanda. Sebab, Belanda masih masih bisa menguasainya.

Tujuan perjanjuan Renville

Diadakannya Perjanjian Renville bertujuan untuk menyelesaikan masalah antara pihak Indonesia dan Belanda. Perundingan ini dilatarbelakangi karena adanya penyerangan yang dilakukan Belanda yang dikenal dengan nama Agresi Militer satu. Agresi militer Belanda satu terjadi pada tanggal 21 Juli 1947 sampai 4 Agustus 1947. Adanya agresi militer Belanda ini menimbulkan kecaman dari masyarakat luar.

Kemudian, pada tanggal 1 Agustus 1947, dewan keamanan PBB memerintahkan keduanya untuk menghentikan serangan. Belanda dan Indonesia pun merespon ultimatum yang diberikan PBB dengan mengumumkan gencatan senjata dan berakhirnya agresi militer pertama pada tanggal 4 Agustus 1947.

Agresi militer pertama yang dilakukan Belanda sebenarnya buah dari kesalahpahaman mengenai penafsiran hasil perundingan Linggarjati. Belanda menafsirkan bahwa keberadaan Uni Indonesia Belanda sebagai bentuk kekuasaan Indonesia berada di bawah pemerintahan Belanda. Sementara itu, Indonesia menafsirkan keberadaan Uni Indonesia Belanda ditafsirkan sebagai bentuk hubungan kerja sama bilateral.

fbWhatsappTwitterLinkedIn