Imperialisme Budaya: Pengertian – Asumsi dan Contohnya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Penyebaran merek seperti KFC, MacDonald’s, Walmart, Coca Cola dan lainnya ke negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, adalah contoh dari imperialisme budaya modern. Globalisasi menjadi kunci utama terjadinya imperialisme budaya. Di bawah globalisasi, fenomena imperialisme budaya terjadi dengan perlawanan minimal, atau bahkan tanpa perlawanan sama sekali.

Pengertian

Imperialisme budaya atau disebut juga dengan kolonialisme budaya adalah sebuah bentuk promosi dan pemaksaan suatu negara terhadap budaya (bahasa, tradisi dan ritual, politik, dan ekonomi) yang kuat guna menciptakan dan memelihara hubungan sosial dan ekonomi yang tidak setara di antara kelompok-kelompok sosial tertentu.

Menurut John Tomlinson, imperialisme budaya mengacu pada pelaksanaan kekuasaan dalam hubungan budaya, di mana prinsip, ide, praktik, dan nilai-nilai yang kuat dari suatu masyarakat yang dipaksakan pada budaya asli di wilayah yang diduduki.

Dalam praktiknya, imperialisme budaya seringkali menggunakan kekerasan seperti aksi militer, serta menerapkan sistem hegemoni budaya yang melegitimasi imperialisme. Bisa juga dalam bentuk kebijakan formal seperti dalam sistem pendidikan, penggunaan bahasa, dan agama.

Fenomena ini banyak dilakukan oleh negara-negara Barat pada negara-negara dunia ketiga. Sebagai contoh, ketika anak-anak penduduk asli Amerika ditempatkan di sekolah asrama bergaya Barat. Di sana mereka diajari cara membaca dan menulis bahasa Inggris, guna mengecilkan penggunaan bahasa asli mereka.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa imperialisme budaya adalah sebuah proses yang bertujuan untuk mentransmisikan simbol-simbol budaya dari komunitas-komunitas penjajah yang awalnya bersifat “asing” lalu lambat laun dianggap sebagai sesuatu yang alami.

Fase Imperialisme Budaya

Proses imperialisme budaya seringkali dilakukan dalam tiga fase terpisah namun berurutan.

  • Perdagangan

Lewis dan Clark juga menyebut fase ini sebagai masa penjelajahan. Ketika sebuah bangsa melakukan penjelajahan untuk berdagang, mereka akan menemukan berbagai jalur perdagangan dan sumber daya yang tidak ada di negara asal mereka.

Seperti mineral, rempah-rempah, dan kawasan pertanian yang subur. Selama berdagang, mereka akan berupaya dalam menyebarluaskan mengenai ideologi, agama, dan budaya mereka ke penduduk lokal.

  • Militer

Imperialisme budaya dalam fase ini seringkali dilakukan dengan mengandalkan kekuatan invasi mereka terhadap wilayah jajahannya. Selain itu, kontrol terhadap sumber daya alam dan manusia juga dilakukan guna menekan terjadinya perlawanan dari penduduk lokal.

  • Politik

Dalam dimensi politik, imperialisme budaya seringkali dilakukan dengan rekayasa demografis dan mengakulturasikan ruang ke dalam suatu wilayah metropolitan melalui saturasi simbol, legenda dan mitos.

Selain itu, negara dengan yang memiliki kuasa lebih akan mendirikan hukum dan norma yang mendukung wilayah metropolitan sebagai budaya yang dominan dan mengkriminalisasi sistem lain.

Asumsi Terkait Imperialisme Budaya

Terdapat beberapa asumsi yang mendukung berdirinya konsep imperialisme budaya, antara lain teori post-kolonialisme, neoliberalisme, studi pembangunan, efek media, keragaman budaya dan kolonialisasi Afrika.

  • Post-Kolonialisme

Dalam teori Post-Kolonialisme, imperialisme budaya dilihat sebagai warisan budaya kolonialisme Barat, atau berbagai bentuk dari aksi sosial yang berkontribusi pada kelanjutan hegemoni Barat. Menurut Michael Foucault, filsuf dan ahli teori sosial Prancis, imerialisme budaya berkaitan erat dengan kekuasaan dan konsep pemerintahan.

Foucault mendefinisikan kekuasaan sebagai hal immaterial, yakni sebagai jenis hubungan tertentu antara individu yang berkaitan dengan posisi sosial strategis yang kompleks, dan berhubungan dengan kemampuan subjek untuk mengendalikan lingkungannya serta memengaruhi orang-orang di sekitarnya.

Konsep milik Michael Foucault tersebut berkaitan langsung dengan risalah Machiavelli tentang bagaimana mempertahankan kekuasaan politik dengan cara apa pun. Spivak menyatakan bahwa imperialisme budaya memiliki kekuatan untuk menghapus pengetahuan dan cara pendidikan populasi tertentu yang berada dalam hierarki sosial rendah.

  • Neoliberalisme

Para sosiolog, antropolog, dan ahli kajian budaya mengkritik bahwa neoliberalisme sebagai bentuk imperialisme baru yang dominan. Sebagai contoh, Elizabeth Dunn dan Julia Elyachar mengklaim bahwa neoliberalisme membutuhkan dan menciptakan bentuk pemerintahannya sendiri.

Banyak terjadi konflik budaya, terutama kebijakan individualitas yang melekat pada perusahaan. Seperti mempromosikan persaingan antar pekerja, bukan mengutamakan kerja sama tim. Hingga banyak terjadi kasus suap dalam organisasi.

Elyachar dalam Markets of Dispossession menyoroti pemerintah Mesir di Kairo yang bekerja sama dengan berbagai organisasi swasta di negaranya dalam mempromosikan pemerintahan neoliberal melalui skema pembangunan ekonomi, dengan mengandalkan pengusaha mikro muda.

  • Studi Pembangunan

Sering kali, studi pembangunan dan keadilan sosial dikritik sebagai bagian dari imperialisme budaya. Salah satu sontohnya adalah Chandra Mohanty, ia mengkritik tentang konsep feminisme Barat yang telah menciptakan gambaran yang salah mengenai “wanita dunia ketiga” sebagai makhluk tidak berdaya yang tidak mampu melawan dominasi pria.

Stereotype seperti ini akan mengarah pada narasi yang sering dikritik, yakni tentang pria kulit putih yang menyelamatkan wanita dan pria kulit coklat. Kritik lain yang bersifat lebih radikal terhadap studi pembangunan, berkaitan dengan konsep bidang studi itu sendiri.

Beberapa ahli ilmu sosial bahkan mempertanyakan tentang niat mereka mengembangkan bidang studi ini, dan mengklaim bahwa upaya ini dilakukan untuk mengembangkan konsep “Global South” yang pada kenyataannya tidak mengarah ke konsep yang telah dibuat. Namun sebaliknya, pada praktiknya upaya ini dilakukan untuk memajukan pembangunan dan hegemoni Barat.

  • Studi Efek Media

Dalam buku Critical Studies in Mass Communication (1991), Michael B. Salwen mengklaim bahwa pertimbangan silang dan integrasi temuan empiris terkait pengaruh imperialisme budaya sangat kritis terhadap pemahaman media massa di ranah internasional.

Salwen mengakui bahwa terdapat dua konteks tersebut kontradiktif terkait dampak imperialisme budaya. Konteks pertama berkaitan dengan sejauh mana imperialisme budaya mampu mengganggu kestabilan sosial-politik negara-negara berkembang. Hal ini terlihat pada kemampuan media Barat dalam mendistorsi citra budaya asing serta memprovokasi konflik pribadi dan sosial ke negara-negara berkembang.

Konteks yang kedua adalah cara bagaimana orang-orang di negara-negara berkembang melawan media asing dan melestarikan budaya mereka sendiri. Meski Salwen mengakui juga bahwa meski manifestasi lahiriah budaya Barat dapat diadopsi, namun nilai-nilai dan perilaku fundamental budaya lama tetap ada.

Ini tercermin dalam inti dalam penelitian efek media terkait imperialisme budaya uang diintegrasikan dengan pendekatan tradisional ekonomi dan politik. Negara-negara dunia ketiga cenderung akan meninggalkan nilai-nilai tradisional mereka ketika media massa di negara tersebut hanya mengekspos tentang keadaan dunia Barat.

  • Keragaman Budaya

Keanekaragaman budaya seringkali digunakan sebagai alasan untuk menentang segala bentuk imperialisme budaya, baik secara sukarela maupun tidak. Bagi sebagian orang, keanekaragaman budaya digunakan dan dipandang sebagai pelestarian keanekaragaman ekologis.

Contoh Imperialisme Budaya

Meski baru populer sekitar tahun 1960-an, dan banyak digunakan untuk merujuk pada hegemoni budaya di dunia pasca-kolonialisme, fenomena imperialisme budaya telah dilakukan dan terjadi sejak masa-masa peradaban kuno.

  • Romawi Kuno

Kekaisaran Romawi Kuno merupakan contoh awal terjadinya imperialisme budaya. Penaklukan bangsa Roma awal terhadap Italia, yaitu mengasimilasi orang-orang Etruaria dengan mengganti bahasa mereka dengan bahasa Latin. Hal ini menyebabkan matinya bahasa maupun berbagai aspek peradaban Etruria.

Banyak wilayah yang enggan menerima Romanisasi budaya oleh kekaisaran Roma saat itu. Seperti Yunani yang pernah ditaklukkan oleh tentara Romawi, yang secara perlahan mengubah budaya mereka sesuai harapan bangsa Romawi. Sebagai contoh, kebiasaan bangsa Yunani telanjang di tempat umum saat olah raga, bagi orang Romawi itu merupakan praktik yang semestinya tidak dilakukan.

  • Yunani Kuno

Bangsa Yunani kuno banyak melakukan imperialisme budaya ke kawasan mediterania dan Timur Dekat melalui perdagangan dan penaklukkan. Selama Periode Archaic, bangsa Yunani kuno banyak mendirikan pemukiman dan koloni mereka di seberang laut Mediterania, terutama di wilayah Sisilia dan Italia selatan. Hal ini memengaruhi cara hidup masyarakat Etruria dan Romawi di kawasan tersebut.

Pada akhir abad ke-4 SM, penaklukkan wilayah Persia dan India oleh Alexander Agung meluas hingga ke lembah Sungai Indus dan Punjab. Selama penaklukkan, ia juga menyebarkan ajaran agama, seni, dan sains Yunani. Hal ini melatarbelakangi berdirinya kerajaan dan kota Helenistik di seluruh Mesir, Asia Tengah, Timur Dekat, dan India barat laut, mengakibatkan budaya Yunani menyatu dengan masyarakat setempat.

  • Kolonialisasi Afrika

Dari seluruh wilayah di dunia yang pernah mengalami kolinialime, benua Afrika menjadi wilayah dengan perubahan paling signifikan. Pada abad ke-19, masa imperialisme Eropa di Afrika telah menyebabkan hilangnya berbagai nilai-nilai dan pandangan hidup, kebudayaan, dan epistemologi. Khususnya dilakukan melalui neokolonisasi pendidikan publik.

Peristiwa ini telah menyebabkan tidak meratanya pembangunan di Afrika, serta lebih lanjut terkait kontrol sosial informal yang berhubungan dengan budaya dan imperialisme. Penghilangan situs budaya, de-linguicization (menggantikan bahasa lokal Afrika dengan bahasa Eropa), merendahkan ontologi individualistik secara tidak eksplisit, serta mendefinisikan budaya Barat sebagai sains, adalah beberapa cara imperialisme bangsa Barat di Afrika.

  • Kerajaan Inggris

Ekspansi kerajaan Inggris ke seluruh dunia pada abad ke-18 dan ke-19 merupakan bagian dari imperialisme budaya yang dilakukan melalui dimensi sosial, budaya, agama, ekonomi, dan politik. Seperti yang dilakukan oleh London Missionary Society sebagai “agen imperialisme budaya Inggris” dengan mendakwahkan agama Kristen selama penjajahan.

Dalam ranah pendidikan, pemerintah Inggris banyak melakukan pemaksaan materi “kurikulum kekaisaran” terhadap koloni mereka. Robin A. Butlin menulis, kerajaan melakukan promosi dengan menyebarluaskan buku, bahan ilustrasi, dan silabus pendidikan. Hal ini juga berlaku untuk sains dan teknologi di kekaisaran

Imperialisme budaya Kerajaan Inggris pada abad ke-19, menurut Danilo Raponi, memiliki pengaruh yang jauh lebih luas di seluruh dunia. Hegemoni budaya mereka yang kompleks mampu mengubah budaya, tatanan politik dan komersial negara-negara yang mereka jajah dahulu.

fbWhatsappTwitterLinkedIn