Perekonomian Indonesia pada Masa Reformasi yang Perlu diketahui

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Masa reformasi dimulai sejak Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998. Kemudian jabatan tersebut digantikan oleh wakil beliau yaitu BJ. Habibie.

Sebelum adanya pergantian presiden, Indonesia sedang dilanda krisis keuangan pada tahun 1997 yang terus berlanjut hingga ke tahun-tahun selanjutnya. Pada tahun tersebut, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika melemah di mana yang tadinya Rp2.500 menjadi Rp15.000 di tahun 1998.

Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Bahkan banyak perusahaan di Indonesia yang meminjam kepada luar negeri ini kesulitan untuk membayar pinjaman karena nilai tukar rupiah ke dolar Amerika lemah.

Agar tidak bangkrut, kemudian perusahaan mengambil keputusan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawannya. Selain itu, ada pula perekonomian lainnya yang juga mengalami krisis seperti angka kemiskinan meningkat, harga kebutuhan pokok yang naik dan tidak terkendali hingga biaya hidup yang makin tinggi.

Krisis ekonomi ini terjadi pada masa reformasi. Lantas, bagaimanakah kelanjutan dari perekonomian Indonesia tersebut? Berikut ini kondisi atau perkembangan perekonomian Indonesia pada masa reformasi beserta kebijakan presiden saat itu.

Masa BJ. Habibie (1998-1999)

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Bj. Habibie menjabat sebagai presiden saat Presiden Soeharto mengundurkan diri. Di awal masa jabatannya, beliau harus menghadapi tanggung jawab yang besar. Salah satunya yaitu kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami porak poranda di mana berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah.

Periode pemerintahan BJ. Habibie ini dikenal sebagai masa transisi dari krisis ekonomi ke proses pemulihan. Pasalnya, pemerintah pada masa ini melakukan reformasi kebijakan ekonomi di beberapa sektor untuk memulihkan kepercayaan masyarakat tersebut.

Adapun BJ. Habibie menerapkan kebijakan reformasi ke dalam empat bidang, di antaranya:

  • Di bidang moneter, dimulai dengan mengendalikan jumlah uang yang beredar saat itu, menaikkan suku bunga untuk sertifikat Bank Indonesia (BI) sebesar 70%, serta menciptakan bank sentral independen.
  • Di bidang perbankan, dengan menerbitkan obligasi sebesar Rp650 triliun untuk menalangi dana perbankan. Selain itu, pemerintah juga menutup sebanyak 38 bank dan mengambil alih 7 bank.
  • Di bidang fiskal, dengan dilakukan pembatalan beberapa proyek infrastruktur, penghentian segala perlakuan khusus bagi mobil nasional serta membiayai program Jaring Pengaman Sosial.
  • Di bidang koperasi, pemerintah juga merestrukturisasi utang swasta dengan skema Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) dan Prakarsa Jakarta dan juga menghentikan segala praktek monomoli yang sudah dilakukan Bulog dan Pertamina selama ini.

Dengan adanya kebijakan di atas, terbukti bahwa gerak cepat pemerintah pada masa presiden BJ. Habibie itu membawa hasil. Satu tahun kemudian, setelah diterapkan kebijakan reformasi ekonomi mempunyai beberapa dampak sebagai berikut:

  • Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang awalnya Rp7.000 menjadi Rp17.000
  • Pertumbuhan ekonomi juga mengalami peningkatan yang awalnya -13% berubah menjadi 2%
  • Angka inflasi di Indonesia pun ikut berhasil turun yang awalnya 77,6% menjadi 2%

Masa Abdurrahman Wahid (1999-2001)

Setelah masa pemerintahan BJ. Habibie, perekonomian Indonesia kembali harus mengalami rintangan yang berat. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur ternyata mengundang problematik dengan DPR dan IMF yang berpengaruh pada perekonomian Indonesia.

Adapun sejumlah kebijakan yang menjadi pemicu terjadinya ekonomi Indonesia harus menghadapi tantangan kembali yaitu:

  • Upaya pemerintah dalam mengubah independensi Bank Indonesia melalui amandemen UU BI
  • Bea masuk impor mobil mewah KTT G-15 yang ternyata jauh lebih rendah dari yang seharusnya yakni 75% namun hanya 5% saja.
  • Adanya otonomi daerah yang memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengajukan pinjaman atau utang luar negeri

Dari sejumlah kebijakan tersebut kemudian berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Mulai dari nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang awalnya Rp7.500 pada tahun 1999 menjadi Rp9.800 pada tahun 2001.

Selain itu, Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan dari 580 ke 458 dan tingkat pertumbuhan ekonomi juga menurun dari 5% pada tahun 2000 menjadi 3,6% pada tahun 2001. Namun sebaliknya, tingkat inflasi saat itu ternyata meningkat drastis dari 2% pada 1999 naik menjadi 12,6% pada 2001.

Meskipun demikian, ada beberapa kebijakan yang mengalami pencapaian salah satunya desentralisasi fiskal. Dengan kebijakan ini, pemerintah bersama-sama Bank Dunia berupaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan masyarakat melalui program pengembangan kecamatan.

Tidak hanya itu, ada pula proyek pedesaan yang dimulai dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan serta saluran irigasi dan sanitasi. Bantuan Kredit Usaha Mikro juga diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat.

Masa Megawati (2001-2004)

Megawati Soekarnoputri atau lebih disapa sebagai Ibu Megawati merupakan presiden RI wanita pertama sepanjang sejarah. Berbicara tentang ekonomi, ada salah satu kebijakan ekonomi beliau yang dinilai berani yaitu mengakhiri program refromasi kerjasama dengan IMF pada Desember 2003.

Kemudian, beliau menerbitkan Instuksi Presiden Nomor 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Sesudah Berakhirnya Program IMF. Hal ini bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi makro di Indonesia.

Adapun beberapa kebijakan yang diterapkan yaitu:

  • Di bidang fiskal, dimulai dengan adanya reformasi kebijakan perpajakan dan efisiensi dalam belanja negara Privatisasi BUMN.
  • Di bidang keuangan, dimulai dengan adanya perancangan Jaring Pengaman Sektor Keuangan, divestasi kepada bank-bank yang ada di BPPN, memperkuat struktur governance bank negara serta restrukturisasi sektor pasar modal, asuransi dan juga dana pensiun.
  • Di bidang investasi, beliau juga menerapkan peninjauan Daftar Negatif Investasi, penyederhanaan perizininan, serta restrukturisasi sektor telekomunikasi dan energi, dan juga pemberantasan korupsi.

Dampak dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan tersebut dinilai cukup baik, seperti:

  • nilai tukar rupiah yang awalnya Rp9.800 pada 2001 berubah turun menjadi Rp9.100 pada tahun 2004
  • Tingkat inflasi juga menurun dari awalnya 13,1% menjadi 6,5%
  • Tingkat pertumbuhan ekonomi juga mengalami kenaikan 2% dari sebelumnya
  • Sama pula dengan nilai IHSG yang awanya 459 pada tahun 2001 nak menjadi 852 pada tahun 2004

Masa Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau lebih akrab disapa SBY ini dikenal dengan masa naik turun ekonomi Indonesia. Di masa awal jabatannya, terjadi kenaikan harga komoditas sebagai berkah ekonomi Indonesia meski hanya sementara sebelum terjadi krisis global tahun 2008.

Ketika itu, harga minyak, batu bar dan CPO atau minyak sawit mentah dunia meningkat secara signifikan. Minyak yang mulanya seharga USD29,32 per barelnya di tahun 2004 meningkat menjadi USD142,03 per barel pada tahun 2008. Sama halnya dengan batu bara dan CPO.

Pada tahun 2004, batu bara seharga USDH52,68 per metrik tonnya dan naik menjadi USD192,86 per metrik ton pada tahun 2008. Sedangkan CPO yang awalnya RM 1411 pada tahun 2006 naik menjadi RM 4298 pada tahun 2008.

Kenaikan harga tersebut tentunya akan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia. Adapun dampak kenaikan harga yaitu:

  • Mempercepat proses pemulihan ekonomi sebagai dampak krisis ekonomi tahun 2008
  • Pendapatan yang berasal dari pajak mengalami peningkatan
  • Defisit APBN yang menurun
  • Transaksi juga pernah mengalami surplus sebesar 2% pada tahun 2009.
fbWhatsappTwitterLinkedIn