6 Contoh Kasus Perang Dagang di Dunia

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Perang dagang atau bisa disebut juga dengan sengketa perdagangan merupakan konflik ekonomi yang terjadi ketika suatu negara memberlakukan, sering kali menaikkan, tarif atau hambatan tertentu terhadap komoditas perdagangan negara lain sebagai upaya pembalasan terhadap hambatan perdagangan yang ditetapkan oleh pihak lain.

Perang dagang acap kali disebabkan adanya pemberlakuan kebijakan proteksionisme oleh suatu negara dalam rangka melindungi produsen lokal mereka. Serta untuk mengembalikan lapangan pekerjaan yang diambil oleh warga negara asing, atau sebagai akibat dari persepsi terhadap praktik dagang negara lain yang tidak adil, yang karenanya harus diimbangi dengan tarif tertentu.

Para ekonom memiliki konsensus tersendiri terkait dampak dari diberlakukannya kebijakan proteksionisme, yakni akan berdampak buruk terhadap kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, deregulasi, perdagangan bebas, dan reduksi dari adanya hambatan perdagangan akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Banyak yang meyakini bahwa kombinasi dari adanya perang dagang dan proteksionisme merupakan sebab terjadinya krisis ekonomi, terutama krisis malaise (depresi besar).

Berikut ini akan dipaparkan 6 kasus perang dagang atau sengketa perdagangan yang pernah terjadi dan telah selesai, atau bahkan sedang dalam proses penyelesaian.

1. Perang Dagang Inggris-Belanda

Perang dagang Inggris-Belanda terbagi menjadi empat periode perang militer. Perang Inggris-Belanda I (1652-1654) dilatarbelakangi oleh dibuatnya Undang-Undang Navigasi 1652 oleh Inggris yang berisikan larangan kepada Belanda terlibat dalam perdagangan maritim Inggris.

Pertempuran pertama terjadi pada Mei 1652 dimenangkan Inggris atas Belanda. Pada tahun-tahun berikutnya, Belanda sekali mengalami kemenangan dan sisanya dimenangkan Inggris, didukung pasukan yang besar dan persenjataan yang lebih baik.

Perang dianggap selesai ketika Maarten Tromp (komandan Belanda) terbunuh, dan dibuatnya Perjanjian Westminster (April 1654).

Persaingan komersial dari kedua negara dan keberhasilan Inggris merebut New Amsterdam (sekarang New York) dari Belanda, memicu pecahnya Perang Inggris-Belanda II (1665-1667). Setelah penghancuran kapal Belanda, Inggris berhasil meraih kemenangannya pada Juni 1665.

Namun, semua tidak berlangsung lama, karena sebagian besar pertempuran berikutnya dimenangkan oleh Belanda. Berbagai wabah pada 1665 dan kebakaran besar di London tahun 1666, berkontribusi besar pada kekalahan dan penghancuran armada laut Inggris pada Juni 1667. Perang berakhir dengan dibuatnya Perjanjian Breda.

Sementara itu, Perang Inggris-Belanda III (1672-1674) merupakan bagian dari perang umum Eropa dari 1672 hingga 1678. Pada periode ini, Belanda juga sering berkonflik dengan Prancis, di mana Prancis berusaha membangun kepemilikan atas wilayah Belanda-Spanyol. Prancis yang bersekutu dengan Inggris, dengan cepat menduduki tiga dari tujuh provinsi di Belanda.

Namun, karena Prancis mengalami krisis keuangan akibat berbagai pertempuran sebelumnya, akhirnya dibuat perjanjian antara Belanda dan Prancis, yakni Perjanjian Nijmegen (1678-1679). Dalam perjanjian tersebut Prancis dan para aliansi besar membuat Belanda tetap utuh, sementara Prancis tetap menguasai wilayah Belanda-Spanyol.

Aktivitas perdagangan dan negosiasi Belanda dengan Amerika Serikat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi memicu kemarahan Inggris terhadap pemerintah Belanda.

Pada 20 Desember 1780, Inggris menyatakan perang terhadap Belanda, dan dengan cepat mengambil kepemilikan utama Belanda di Hindia Barat dan Timur dengan blokade di pantai Belanda.

Pada Agustus 1781, sebuah pasukan kecil Belanda menyerang pasukan konvoi Inggris di sekitar Dogger Bank. Namun, karena keterbatasan pasukan dan persenjataan, Belanda mengalami kekalahan.

Perang berakhir pada Mei 1784, ketika Belanda mengalami kemunduran dan secara bersamaan mengokohkan dominasi Inggris di mata dunia.

2. Sengketa Perdagangan Salmon Kanada-Australia

Pada 1975, Australia sebagai salah satu negara eksportir Salmon utama dunia memberlakukan larangan impor salmon segar di bawah peraturan karantina guna mencegah masuknya penyakit dari produk luar ke stok ikan di Australia. Selain itu, Australia juga mengizinkan impor salmon non-segar guna mengurangi risiko penyakit.

Namun, pada 1990-an, kebijakan tersebut menimbulkan ketegangan antara Kanada dan Australia, karena setengah dari seluruh impor salmon Australia berasal dari Kanada.

Orang Australia menyambut baik kebijakan tersebut, sementara Kanada menganggap kebijakan tersebut hanyalah proteksionisme karena tidak adanya bukti ilmiah terkait impor salmon dari negaranya.

Pada Oktober 1995, Kanada kemudian mengajukan sengketa terkait impor salmon melawan Australia ke WTO. Dengan judul resmi “Australia – Tindakan yang memengaruhi Impor Salmon”, dalam sengketa DS18. Kanada berdalih bahwa Australia telah melanggar perjanjian SPS dan Pasal 11 dan 12 General Agreement on Tariffs and Trades (GATT) tahun 1994.

Dalam Final Panel Report, Australia kalah dalam gugatan dan dinyatakan melanggar beberapa pasal,  salah satunya Pasal 1 ayat 2 Perjanjian SPS.

Pada Juni 1998, Australia mengajukan banding atas putusan tersebut, dan berakhir dengan keputusan pencabutan larangan impor salmon Kanada, termasuk kebijakan karantina pada spesies ikan lainnya.

Setelah beberapa tahun Kanada membawa sengketa ini ke WTO, Australia menerbitkan “Analisis Risiko Impor 1999” dengan alasan bahwa impor salmon segar atau beku berisiko bagi kesehatan. Namun, Kanada meminta penangguhan terkait konsesi ke Australia karena ketidakpatuhannya.

Pada pertemuan Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Bodi (DSB) 18 Mei 2000, menyusul keputusan panel kepatuhan dan diskusi antara WTO dan kedua negara yang bersengketa, Kanada mengumumkan bahwa mereka telah mencapai kesepakatan untuk mengakhiri perselisihan dengan Australia.

3. Sengketa Produk EC-IT Jepang-Uni Eropa

Sengketa produk EC-IT bermula ketika Jepang berkonsultasi dengan Uni Eropa pada 28 September 2008, terkait tarif bea terhadap produk teknologi informasi tertentu (EC-IT). Beberapa produk tersebut antara lain FDP (Perangkat Layar Panel Datar), STBC (Set-Top Box), dan MFM (Mesin Digital Multifungsi).

Jepang mengklaim bahwa pemberlakuan tarif tersebut melanggar komitmen Uni Eropa terhadap Perjanjian Teknologi Informasi WTO. Alih-alih menerapkan konsesi tarif bebas bea, Uni Eropa dan negara-negara anggotanya mengenakan bea pada teknologi informasi tertentu milik Jepang.

Pada 18 Agustus 2008, Jepang bersama Amerika Serikat dan China Taipei meminta pembentukan sebuah panel di WTO. Karena permasalahan dirasa sangat rumit, Ketua Panel Badan Penyelesaian Sengketa (DBS) mengatakan bahwa sengketa tidak akan selesai dalam waktu 6 bulan sejak pembentukan panel.

Setelah mengalami penundaan beberapa kali, pada 16 Agustus 2010, panel akhirnya selesai diedarkan kepada anggota. Hasil yang didapatkan UE akan berkomitmen untuk memberikan tarif bebas bea terhadap produk IT tertentu Jepang, sesuai Perjanjian Teknologi Informasi.

Panel juga menyimpulkan bahwa Uni Eropa telah gagal dalam upaya menerbitkan catatan penjelas yang memungkinkan pemerintah dan pedagang mengenal produk IT tertentu Jepang.

Pada 25 Oktober 2010, UE mengatakan pada Badan Penyelesaian Sengketa akan menerapkan rekomendasi dan keputusan panel, dengan jangka waktu 9 bulan 9 hari.

4. Perang Dagang Jepang-Korea Selatan

Pada 1 Juli 2019, Pemerintah Jepang mengumumkan akan memperketat ekspor bahan kimia bagi semi konduktor Korea Selatan, yang mulai berlaku pada 4 Juli 2019.

Kebijakan ini juga membatasi perizinan yang memaksa para eksportir Korea Selatan untuk meminta persetujuan otoritas terkait proses pengiriman bahan baku yang memakan waktu hingga 90 hari.

Yasutoshi Mishimura, Wakil Sekretaris Kabinet, menyatakan bahwa pembatasan bertujuan dalam rangka keamanan nasional. Sementara Korea Selatan menolak dengan tegas pemberlakuan kebijakan ini dan menyebutnya sebagai “pembalasan ekonomi” terhadap masalah yang diputuskan oleh Mahkamah Agung Korea Selatan.

Pada 10 Juli 2019, beredar laporan dari Fuji TV dan surat kabar Sankei Shimbun bahwa Korea Selatan telah menemukan 156 bahan kimia strategis serta disinyalir secara diam-diam menjadi eksportir senjata pada kurun waktu dari 2015 hingga 2019. Salah satunya racun VX yang digunakan untuk membunuh Kim Jong Nam, saudara Kim Jong Un.

Laporan tersebut dibantah oleh semua anggota Parlemen Han Tae Kyung. Ia menduga bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, Jepang menyelundupkan senjata ke Korea Utara.

Pada pertemuan Dewan Organisasi Perdagangan Dunia, Korea Selatan menyatakan bahwa mereka akan mengajukan pembatalan kebijakan ekspor Jepang ke WTO.

Kasus ini resmi dibawa ke Markas WTO di Jenewa pada 24 Juli 2019. Pada 2 Agustus, Jepang memutuskan untuk menghapus Korea Selatan dari daftar negara-negara yang mendapat perlakuan khusus dalam perdagangan dengan negaranya. Keputusan ini berlaku mulai 28 Agustus 2019, dan tentu saja mendapat protes dari pemerintah Korea Selatan.

Pada 12 Agustus, Korea Selatan juga melakukan hal yang sama, dengan mengeluarkan Jepang dari daftar mitra terfavorit mereka dalam hal perdagangan. Korsel akan memasukkan Jepang ke daftar baru sebagai negara yang belum menjalankan sistem kontrol ekspor.

Keputusan mulai berlaku pada 18 September 2019, setelah mengumpulkan berbagai opini masyarakat melalui situs web pemerintah Korsel dari 14 Agustus hingga 3 September 2019. Sekitar 91% masyarakat Korsel mendukung adanya revisi terkait pengendalian ekspor.

Lee Ho Hyeon, Pejabat Kementerian Perdagangan Korsel, menegaskan bahwa langkah ini akan memengaruhi lebih dari 100 perusahaan eksportir bahan baku penting ke Jepang, seperti alat komunikasi dan bahan baku semi konduktor.

Pada 11 September, Kementerian Perdagangan Korsel melaporkan adanya keluhan atas kontrol ketat terhadap ekspor Jepang kepada WTO. Dalam laporannya, Korsel menuduh Jepang melakukan kebijakan tersebut berlandaskan motivasi politik.

Pada 11 Oktober, diadakan sebuah pertemuan bilateral tahap pertama antara Jepang dan Korsel sebagai tahap penyelesaian perang dagang antara keduanya di Jenewa, Swiss. Hingga pertemuan bilateral tahap kedua pada 19 September 2019, tidak ada titik temu terkait penyelesaian bagi keduanya meski diskusi berlangsung selama 6 jam lamanya.

5. Perang Dagang Indonesia-Uni Eropa

Pada April 2017, Parlemen Eropa mengesahkan resolusi tentang deforestasi dan impor minyak sawit. Resolusi ini menuai kecaman terutama negara produsen minyak kelapa sawit, seperti Indonesia, Malaysia, dan Kolombia.

Menurut anggota DPR RI Edhy Prabowo, resolusi ini bertentangan dengan prinsip perdagangan adil yang dianut Uni Eropa (UE) selama ini.

Pemerintah RI menyatakan siap berunding dan bersedia melakukan berbagai upaya untuk meyakinkan UE agar tidak menerapkan resolusi tersebut.

Pada Mei 2017, pemerintah RI telah menyusun dokumen terkait deforestasi dan mengumpulkan peneliti guna membuktikan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia telah memperhitungkan unsur keberlanjutan.

Sesuai pernyataan Presiden Jokowi pada Juli 2017, yang meminta pemerintah Belanda untuk bertindak adil terkait ekspor kelapa sawit Indonesia ke UE.

Pada November 2017, Jokowi meminta UE mencabut resolusi Parlemen Eropa terkait kelapa sawit, serta menyatakan keprihatinannya terkait resolusi tersebut bersama Perdana Menteri Malaysia Najib Razak.

The Federal Land Development Authority of Malaysia (FELDA) juga mengecam keputusan UE tersebut. Pada Juni 2018, UE sepakat menghentikan penggunaan minyak sawit sebagai bahan transportasi mulai 2030 mendatang. Meski pun demikian, ekspor komoditas kelapa sawit Indonesia ke UE tahun ini justru mengalami peningkatan.

Pada 28 Agustus 2019, pemerintah Indonesia mengesahkan kebijakan terkait hilirisasi dengan melarang ekspor mineral mentah, termasuk bijih (ore) nikel yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019.

Terkait kebijakan baru tersebut, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) hanya dapat mengekspor nikel dengan kadar di bawah 1,7%, dan harus sudah melalui proses pemurnian hingga 70% di smelter dalam negeri. Intinya, pemenuhan terhadap kebutuhan pasar dalam negeri harus terlebih dulu terpenuhi.

Kebijakan ini membuat Uni Eropa kesal karena dinilai tidak adil dan akan berakibat pada industri baja di UE akibat keterbatasan akses dan bijih nikel itu sendiri.

Pada 22 Desember 2019, UE menyampaikan kepada duta besar Indonesia di Jenewa bahwa mereka berencana melakukan gugatan terkait kebijakan tersebut ke WTO.

Pada 14 Januari 2021, UE secara resmi menggugat Indonesia ke WTO terkait kebijakan larangan ekspor bijih (ore) nikel mentah. Dalam gugatannya, UE berdalih bahwa Indonesia telah melakukan pelanggaran dengan melakukan pembatasan ekspor bijih nikel, sesuai Pasal 11 ayat 1 General Agreement on Tariffs and Trades (GATT) tahun 1994.

Sesuai dengan Pasal 11 ayat 1 GATT Tahun 1994, bahwa negara-negara anggota WTO dilarang melakukan pembatasan bea, pajak, dan tarif lainnya. Bukan pembatasan lain, termasuk kuota, kuantitas dan perizinan impor atau penjualan dalam rangka ekspor.

Pada 17 Oktober 2022, berdasarkan hasil putusan panel WTO yang telah keluar, Indonesia diyatakan kalah dalam gugatan yang tercatat dalam sengketa DS 592.

Dalam Final Panel Report dikatakan bahwa kebijakan ekspor dan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO pada Pasal 11 ayat 1 GATT 1994, serta tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal 11 ayat 2a dan Pasal 20 huruf d GATT 1994.

Dalam Final Panel Report tersebut juga disebutkan bahwa beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah bertentangan dengan WTO, seperti UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Peraturan Menteri ESDM No. 11 Tahun 2019 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Hal ini juga mengacu pada Permendagri No 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan, Hasil Pengolahan, dan Pemurnian. Serta Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2020 tentang Tatacara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Menanggapi hal tersebut, Presiden Jokowi dalam pidatonya pada 30 November 2022, menyatakan akan terus melakukan banding terkait putusan sengketa bijih nikel dan memerintahkan para menteri ekonomi melakukan banding hukum atas kekalahan terhadap gugatan UE di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Bodi (DSB) WTO.

6. Perang Dagang Amerika Serikat-Tiongkok

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok dimulai pada 22 Maret 2018, ketika Presiden Trump mengumumkan bahwa pemerintah AS akan mengenakan bea masuk terhadap berbagai komoditas Tiongkok sebesar US$50 miliar di bawah Pasal 301 Undang-Undang Perdagangan 1974.

Dalam pernyataan resminya, Trump menyampaikan bahwa bea yang diusulkan tersebut merupakan bentuk respon terhadap praktik perdagangan Tiongkok yang tidak adil selama bertahun-tahun, termasuk pencurian terhadap kekayaan intelektual Amerika Serikat.

Sebagai balasannya, pada 2 April, Kementerian Perdagangan Tiongkok manaikan bea masuk terhadap lebih dari 128 komoditas Amerika Serikat.

Bea yang dikenakan pada komoditas pesawat terbang, mobil, aluminium, daging babi, dan kedelai naik menjadi 25%. Sedangkan untuk komoditas kacang, buah-buahan, dan baja naik menjadi 15%.

Keesokan harinya, United State Trade Representative (USTR) menerbitkan daftar lebih dari 1.300 komoditas impor dari Tiongkok yang rencananya akan dikenakan bea senilai US$50 miliar. Termasuk juga pada komoditas suku cadang pesawat, satelit, televisi, peralatan medis, baterai, dan senjata.

Menanggapi pengumuman tersebut, pada 4 April, pemerintah Tiongkok lantas menambah tarif bea sebesar 25% untuk 106 komoditas seperti pesawat terbang, mobil, dan kedelai, yang merupakan komoditas ekspor pertanian utama Amerika Serikat ke Tiongkok.

Pada 5 April 2018, Trump kembali menginstruksikan kepada USTR untuk mempertimbangkan tambaha pengenaan bea sebesar US$100 miliar jika Tiongkok terus berupaya melakukan pembalasan. Hari berikutnya WTO menerima permintaan dari pemerintah Tiongkok untuk berdiskusi tentang tarif bea AS yang baru.

Menjelang akhir tahun 2018, perang dagang antar keduanya masih terus berlanjut ketika Presiden Trump menandatangani Perjanjian AS-Meksiko-Kanada terkait aturan asal produksi mobil pada 30 November. Upaya ini mencegah masuknya produk Tiongkok, serta mendorong produksi dan investasi di AS dan Amerika Utara.

Perang dagang terus berlanjut dan semakin memanas hingga pertengahan tahun 2019. Selama KTT G20 Osaka pada 29 Juni, Trump mengumumkan dia dan Xi Jinping telah menyetujui adanya “gencatan senjata” dalam perang dagang setelah pembicaraan ekstensif dari keduanya.

Pada 13 Desember, kedua negara mengumumkan bahwa kesepakatan awal terkait tarif baru tang akan diberlakukan bersama pada 15 Desember batal diterapkan. Tiongkok akan meningkatkan pembelian produk pertanian dari AS. Sementara AS akan mengurangi separuh dari tarif 15% yang telah berlaku.

Pada Januari 2020, kedua negara telah mencapai kesepakatan fase pertama yang cukup menegangkan di Washington DC. Kesepakatan ini mulai berlaku 14 Februari 2020 dan berakhir pada Desember 2021, dengan Tiongkok gagal mencapai target impor AS ke Tiongkok. Menjelang akhir masa jabatan, perang dagang dicirikan sebagai kegagalan Trump selama memimpin AS.

Penggantinya, Joe Biden, lebih memilih mempertahankan kebijakan dan tarif bea sebelumnya. Pada 27 Januari 2023, Uni Eropa melalui Thierry Breton mengumumkan akan bergabung dengan AS dalam upaya memblokir penjualan perangkat teknologi ke Tiongkok.

Sementara Tiongkok terus memperluas daftar entitas yang tidak dapat diandalkan dalam upaya memasukkan Raytheon dan Lockheed Martin ke dalam daftar tersebut.

fbWhatsappTwitterLinkedIn