Perumusan Pancasila Pada Masa Penjajahan Jepang Beserta Penerapannya

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Setelah Belanda, Jepang menjadi negara yang menjajah Indonesia. Tidak seperti Belanda yang memang dari awal secara terang-terangan ingin menguasai Indonesia. Jepang datang ke Indonesia dengan iming-iming sebagai saudara se-Asia. Pura-pura memberikan pertolongan, namun sebenarnya Jepang sama saja dengan Belanda ingin menguasai Indonesia.

Banyak penderitaan yang ditinggalkan oleh penjajahan Jepang. Jepang menjadikan Indonesia sebagai pasokan alat-alat perang. Semakin hari, penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia akibat penjajahan Jepang semakin terasa. Propaganda Jepang sebagai saudara tua, tidak lagi menggiurkan. Masyarakat sudah mulai berani melakukan pemberontakan.

Di berbagai daerah, masyarakat bersama tokoh pergerakan nasional melakukan perlawanan baik itu dengan cara gerakan bawah tanah ataupun negosiasi. Namun, hal tersebut tidak juga menghentikan penjajahan yang dilakukan Jepang.

Penjajahan masih terus berlangsung dan perlawanan pun semakin digencarkan. Sejatinya, pengamalan nilai Pancasila sudah ada ketika masa penjajahan Jepang. Berikut ini nilai-nilai Pancasila pada masa penjajahan Jepang.

Perumusan Pancasila Masa Penjajahan Jepang

Pancasila dirumuskan ketika penjajahan Jepang. Semua ini bermula ketika Jepang terlibat perang Asia Pasifik dengan Amerika Serikat dan sekutu. Peperangan ini membuat keadaan Jepang semakin terdesak setelah dipukul mundur beberapa kali oleh sekutu.

Kekalahan yang beruntun membuat pertahanan Jepang melemah sehingga Jepang meminta bantuan Indonesia untuk menghadapi sekutu. Jepang mengiming-imingi kemerdekaan agar masyarakat mau membantunya.

Pada tanggal 7 September 1944, Jepang berusaha untuk menarik kembali simpati masyarakat Indonesia dengan menjanjikan kemerdekaan. Hal ini dilakukan agar Indonesia mau membantu Jepang dalam melakukan perang Asia Pasifik melawan sekutu.

Pembentukan BPUPKI

Pada tanggal 1 Maret 1945, Jepang kembali membujuk Indonesia dengan menawarkan kemerdekaan tanpa syarat. Sebagai salah satu contoh usaha Jepang dalam memerdekakan Indonesia dibuat sebuah badan untuk mempersiapkan kemerdekaan yang kemudian dikenal dengan BPUPKI.

BPUPKI atau Dokuritsu Junbi Cosakai merupakan badan yang bertugas untuk mempersiapkan hal-hal yang berkaitan erat dengan kemerdekaan. BPUPKI dibentuk pada tanggal 29 April 1945 dengan Dr Radjiman Wedyodiningrat e ketua dan dibantu oleh Itchibangase dan Raden Pandji Soeroso sebagai ketua muda.

Dalam organisasi bentukan Jepang ini, terdapat pula orang-orang istimewa yang ditugaskan dan ditunjuk oleh Jepang menjadi anggota BPUPKI. Kemudian satu bulan setelahnya, pelantikan pun dilakukan dan satu hari setelahnya diadakan sidang yang pertama kali.

Sidang Pertama (29 Mei 1945-1 Juni 1945)

Sidang pertama digelar untuk membahas rumusan dasar negara. Sidang ini dimulai pada tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Dalam sidang tersebut, Dr Radjiman Wedyodiningrat selaku ketua sidang menanyakan apa dasar negara Indonesia. Kemudian tiga orang tokoh mengemukakan alasannya.

Salah satunya yakni Soerkarno yang mengemukakan gagasannya dengan nama Pancasila. Saat itulah nama Pancasila mulai dikenal oleh umum menjadi draf rumusan dasar negara. Para peserta rapat sidang ketika itu menyetujui saran dari Soekarno sehingga 1 Juni dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila.

Setelah melakukan diskusi yang panjang dan proses penyusunan dasar negara, ditetapkanlah Pancasila sebagai dasar negara pada sidang PPKI yakni 18 Agustus 1945. Penetapan itu satu hari setelah agenda kemerdekaan, kemudian menyusul penetapan dokumen resmi pendukung negara lainnya seperti Undang-Undang Dasar 1945 dan Piagam Jakarta.

Penerapan Nilai-Nilai Pancasila

Pancasila memang lahir ketika sidang BPUPKI, namun sejatinya nilai-nilai Pancasila sudah ada dari masa kerajaan-kerajaan berdiri. Pancasila merupakan falsafah atau pandangan bangsa Indonesia. Nilai ini tercermin dari tingkah perilaku masyarakat itu sendiri.

Nilai-nilai Pancasila yang terdapat pada butir-butir Pancasila yang berjumlah lima itu sudah ada dan melekat pada adat istiadat masyaratakat Indonesia. Soekarno, Mohammad Yamin dan Soepomo ketika mengusulkan rumusan dasar negara juga berpatokan pada nilai-nilai yang selama ini sudah ada di masyarakat.

Misalnya seperti nilai kesejahteraan, nilai ini sudah dilakukan oleh raja-raja terdahulu pada kerajaan di Indonesia. Raja-raja yang ketika itu memerintah sudah menerapkan prinsip kesejahteraan ketika menjalankan pemerintahan. Mereka memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dengan membangun berbagai fasilitas.

Bahkan hal inilah yang membuat kerajaan-kerajaan besar di Indonesia yang bertahan lama dan memiliki kekuasaan di mana-mana. Kesejahteraan rakyat menjadi kunci pemerintahan yang bertahan dan memiliki kekuasaan yang besar. Hal ini sudah diterapkan oleh Kerajaan Sriwijaya yang memiliki cita-cita sebagai negara yang adil serta makmur.

Nilai-nilai Pancasila tidak hanya berkembang ketika zaman kerajaan saja, melainkan juga saat masa penjajahan. Salah satunya ketika penjajahan Jepang. Nilai-nilai ini tercermin dari sikap para pejuang dalam melawan para penjajah.

1. Sila Pertama

  • Pertentangan Sila Pertama

Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sejatinya sudah diterapkan oleh masyarakat Indonesia ketika zaman penjajahan. Buktinya, ketika terjadinya pergantian redaksi pada sila yang pertama ini. Semula, sila ini berbunyi “kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Isi sila tersebut mendapatkan pertentangan dari peserta rapat khususnya masyarakat Indonesia Timur. Mereka tidak sepakat karena tidak semua masyarakat Indonesia memeluk agama islam. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multikultural baik dari agama, ras, bahasa dan suku.

Maka dari itu, mereka meminta isi sila pertama diganti karena tidak mencerminkan kesatuan Indonesia. Dengan adanya pertentangan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragama dan hanya menyembah satu Tuhan yang Esa atau tunggal.

Selain itu, bukti nilai-nilai Pancasila pada masa penjajahan Jepang adalah saat seorang tokoh menolak sujud kepada matahari. Jepang terkenal dengan istilah seikerei yakni sikap hormat dengan membungkukkan badan ke arah matahari.

Ketika itu, para tokoh pemuka agama seperti Buya hamka, Kh. Zaenal Mustafa dan Ki Bagioes Hadikoesoemo menolak mentah-mentah perintah untuk melakukan seikerei. Menurut mereka, seikerei merusak ajaran agama karena dianggap menyekutukan Allah.

Dari hal tersebut dapat terlihat bahwa masyarakat Indonesia yang menyembah Tuhan yang Maha Esa bukan benda-benda langit seperti matahari. Meskipun ketika itu, Jepang sedang menjajah Indonesia bukan berarti nilai-nilai Pancasila luntur begitu saja. Mereka tetap mempertahankannya sekalipun mendapatkan hukuman.

2. Sila Kedua

Sila kedua dalam Pancasila adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Adapun bukti dari nilai-nilai Pancasila ketika penjajahan Jepang adalah adanya perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat. Sejak zaman penjajahan yang dilakukan oleh Belanda, Indonesia menolak keras segala bentuk penjajahan.

Berbagai upaya dilakukan untuk dapat terbebas dari jerat penjajahan. Namun, untuk lepas dari bayang-bayang penjajahan tidaklah mudah. Terlebih lagi mereka dilengkapi dengan persenjataan yang lengkap dengan angkatan militer yang tangguh.

Penjajahan bertentangan dengan sila kedua Pancasila sehingga banyak masyarakat mulai bergerak melawan. Berbagai upaya dilakukan untuk menolak penjajahan yang tidak mengenal peri kemanusiaan. Tidak hanya dilakukan oleh tokoh pergerakan nasional, masyarakat biasa pun ikut melakukan perlawanan.

Bentuk perlawanan yang dilakukan masyarakat dibedakan menjadi dua yakni sebagai berikut.

  • Gerakan bawah tanah

Biasanya perlawanan ini dilakukan oleh sejumlah tokoh di daerah. Mereka akan melakukan pemberontakan secara langsung kepada Jepang. Tidak hanya sendirian, mereka akan dibantu oleh masyarakat agar dapat mengusir penjajah di daerah mereka seperti yang terjadi pada perlawanan masyarakat Aceh, Tasikmalaya, Indramayu dan sebagainya.

  • Negosiasi

Bentuk perlawanan ini biasanya dilakukan oleh tokoh besar seperti Soekarno dan Mohammad Hatta. Mereka cenderung melakukan perlawanan dengan cara menduduki jabatan penting di pemerintahan Jepang kemudian melakukan negosiasi agar dapat terlepas dari jerat penjajahan. Bentuk perlawanan jenis ini mengundang ketidaksetujuan sejumlah tokoh lain.

3. Sila Ketiga

Nilai-nilai sila ketiga saat masa penjajahan Jepang tercermin dari solidaritas dalam menghadapi Jepang. Seluruh elemen masyarakat bahu-membahu untuk dapat terbebas dari belenggu penjajahan. Dari berbagai penjuru daerah melakukan perlawanan terhadap Jepang.

Setiap daerah biasanya memiliki seorang ksatria yang bertindak sebagai pemimpin perlawanan. Adanya para pemberani ini membuat rakyat tidak gentar untuk bersatu melawan Jepang. Bahkan mereka tidak takut menghadapi Jepang yang memiliki senjata lengkap.

Meskipun memiliki bentuk perlawanan yang berbeda, namun tujuan mereka satu yakni agar terbebas dari penjajahan. Kemerdekaan dan menjadi bagian dari Indonesia merupakan harapan semua orang ketika itu. Sekuat apapun serangan yang dilakukan oleh Jepang, mereka tidak akan menyerah begitu saja dan terlepas dari bagian Indonesia.

Ketika Jepang menjanjikan kemerdekaan, masyarakat begitu antusias menyambut dan mempersiapkan kemerdekaan. Berbagai masyarakat ikut andil dalam merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan persiapan kemerdekaan. Bahkan hal ini terlihat ketika terjadi silang pendapat, mereka menyingkirkan ego agar dapat menjaga persatuan Indonesia.

4. Sila Keempat

Sila keempat ini tercermin dari bentuk musyawarah yang dilakukan ketika menghadapi persoalan atau memutuskan sesuatu. Hal ini terlihat dari perumusan Pancasila hingga pengesahannya. Ketika perumusan Pancasila, Dr Radjiman selaku ketua justru memberikan kesempatan forum untuk mengajukan pendapat.

Ia tidak membatasi siapapun untuk mengajukan saran terkait rumusan dasar negara ini. Setelah didapatkan rumusan yang pas, bukan berarti langsung disahkan. Ir Soekarno ketika itu membacakan draf final Pancasila di depan umum. Tujuannya agar dapat mendengarkan pendapat dari yang lain mengenai draf ini.

Ketika terjadi silang pendapat mengenai pasal pertama, para petinggi tidak membuat keputusan sepihak. Mereka mendengarkan pandangan dari beberapa orang sebelum akhirnya dilakukan kesepakatan. Hasilnya, mereka tidak egois dengan tetap mempertahankan sila pertama yang dianggap tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia Timur.

Mereka menerima masukan tersebut dan sepakat untuk menggantinya demi menjaga persatuan. Dari hal tersebut dapat terlihat bahwa setiap apapun masalahnya, musyawarah selalu menjadi solusinya. Permasalahan harus diselesaikan dengan kesepakatan bersama.

5. Sila Kelima

Sila kelima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yakni tercermin saat adanya musyawarah dalam agenda-agenda penting. Para tokoh pergerakan nasional ketika itu, selalu melibatkan berbagai perwakilan tokoh-tokoh daerah. Hal ini bertujuan agar tidak daerah yang merasa tidak dianggap.

Kehadiran para wakil daerah menjadi implementasi pada sila kelima yang berkaitan dengan keadilan. Mendapatkan hak yang sama merupakan salah satu dari bentuk keadilan yang diterima oleh elemen masyarakat. Kehadiran para wakil daerah bertujuan untuk mendengarkan suara-suara masyarakat daerah yang masih menjadi bagian Indonesia.

Begitupun ketika pengambilan keputusan, mereka tidak mengabaikan saran para wakil daerah seperti wakil dari Indonesia Timur. Meskipun ketika itu menjadi minoritas bukan berarti harus diabaikan saran-sarannya. Mereka masih menjadi bagian Indonesia dan Pancasila memang pada dasarnya harus mencerminkan nilai-nilai masyarakat Indonesia bukan golongan.

fbWhatsappTwitterLinkedIn